Dapat Penghargaan dari Prancis, Ini Kata Garin
Editor
Ali nur yasin koran
Jumat, 29 April 2016 10:14 WIB
TEMPO.CO, Yogyakarta - Sutradara kondang Garin Nugroho memamerkan sebuah emblem atau semacam lencana berbentuk bunga delapan kelopak dengan balutan pita hijau bergaris putih di kediamannya di Jalan Jayeng Prawiran Purwokinanti, Kecamatan Pakualaman, Kota Yogyakarta, Kamis, 28 April 2016.
Emblem itu sebesar gantungan kunci itu merupakan sebentuk penghargaan Ordre des Arts et des Letters atau penghargaan bidang seni dan sastra yang diberikan pemerintah Prancis kepada Garin Nugroho awal pekan ini di Jakarta. "Saya enggak hafal namanya, tapi ini sangat berharga karena diberikan juga kepada tokoh bidang seni-budaya dunia," ujar Garin.
Tokoh yang pernah menerima emblem semacam itu antara lain Bob Dylan, Elton John, Leonardo di Caprio, Quincy Jones, Sean Connery, Wongkar Way, hingga Bono, vokalis band U2.
Menurut Garin, dia mendapat penghargaan tersebut bukan karena film yang dibuatnya. Namun, karena rekam jejaknya melalui film, dunia bisa melihat miniatur Indonesia secara lebih utuh, kritis, dan independen. "Saya lahir dengan karya di tengah krisis perfilman nasional pada tahun 90-an, ketika Indonesia hanya punya film genre seks yang murah-murah itu," kata pria yang kini sedang mencalonkan diri sebagai Wali Kota Yogyakarta ini.
Pemerintah Prancis, kata dia, mengamati sejumlah karyanya yang memotret Indonesia sebagai miniatur dengan beragam cerita dan latar budaya, sosial, dan kemanusiaan. Gambaran tentang Indonesia ini jarang dibidik pembuat film lain. "Mereka menyukai cara kerja saya serta tim yang independen dan kritis," tuturnya.
Salah satunya adalah film Tjokroaminoto yang menggambarkan peta politik Indonesia pertama pada 1910. "Meskipun Tjokroaminoto tidak populer, saya tetap mengangkat kisahnya karena itu sejarah politik pertama Indonesia," ucap Garin.
Garin juga pernah mengangkat sisi kepahlawanan dari kelompok minoritas yang selama ini diabaikan. Seperti film Soegija yang dibuat Garin untuk menggambarkan peran minoritas dalam era transisi kemerdekaan Indonesia pada 1949. Film itu menyorot peran uskup dan Vatikan dalam membantu diplomasi kemerdekaan Indonesia yang kala itu masih direcoki pihak luar.
Saat isu otonomi dan juga desentralisasi menguat di Tanah Air dengan salah satu fokusnya Papua, Garin pun menggunakan momentum itu demi melahirkan karya Aku Ingin Menciummu Sekali Saja. "Teater saya, Opera Jawa, juga sempat tampil di Prancis, jadi penghargaan itu juga berasal dari situ," ujarnya.
Saat ini film anyar karya Garin, Setan Jawa, yang bercerita tentang kultur pesugihan, juga tengah menanti tur pemutaran keliling di sejumlah negara tetangga.
PRIBADI WICAKSONO