'Cry Jailolo' Eko Supriyanto Mengentak Mousonturm Frankfurt
Editor
Nunuy nurhayatiTNR
Kamis, 8 Oktober 2015 14:46 WIB
TEMPO.CO, Frankfurt - Kaki-kaki anak Jailolo itu bergetar dan berderap terus-menerus. Sebuah koreografi yang bertumpu pada stamina kaki. Hampir satu setengah jam, tujuh remaja Jailolo tersebut membentuk variasi-variasi blocking di pentas dengan kaki-kaki berderap tanpa henti. Peluh mereka bercucuran.
Penonton Kunstlerhaus Mousonturm, Frankfurt, kemarin malam, Rabu, 7 Oktober 2015, menyaksikan sebuah Indonesia yang lain. Bukan Jawa atau Bali sebagaimana mereka kenal. Tapi tubuh Jailolo, Halmahera.
Ekspresi tubuh mereka sederhana, tapi sangat kontemporer. Itulah pertunjukan Cry Jailolo karya koreografer Eko Supriyanto. Antusiasme penonton meledak seusai pentas. Dalam sesi tanya-jawab, banyak yang bertanya di mana letak Jailolo. Bagaimana perasaan anak-anak dari tempat terpencil datang ke Jerman dan pentas berkeliling Eropa. Bagaimana kehidupan mereka sehari-hari di Jailolo.
Gedung Kunstlerhaus Mousonturm adalah satu tempat kesenian alternatif di Frankfurt. Gedung ini menjadi bagian utama perhelatan Indonesia LAB di Frankfurt. “Indonesia LAB ini bagian dari dipilihnya Indonesia menjadi tamu kehormatan Frankfurt Book Fair 2015. Kami menyajikan berbagai acara, dari diskusi-diskusi, workshop, hingga pementasan. Kami ingin Indonesia menjadi bagian yang aktif dalam kebudayaan dunia,” kata etnomusikolog Endo Suanda, mewakili Komite Nasional Frankfurt Book Fair, dalam pidatonya di Mousonturm.
Di lobi utama Mousonturm, kelompok Ruang Rupa dari Jakarta membuat mural. Seluruh isi Kafe Mousonturm diberi gantungan gambar yang mengingatkan kita pada gambar-gambar judi togel. Di Mousontrum, Ruang Rupa bersama kelompok Contact Gonzo dari Osaka Jepang dan Yrd Works dari Frankfurt akan menampilkan kolaborasi berjudul "Trans-Act: Laboratory of Suspicious Movements".
Contact Gonzo sudah tiga kali pentas di Jakarta. Pentas mereka unik—di luar kebiasaan tari, penuh perkelahian, sikat-sikatan, dan tampar-tamparan. Selain Eko, penari lain yang bakal tampil di Mousonturm adalah Jecko Siompo. Juga sebuah kolaborasi bertajuk "Choreographers’LAB" yang akan mempertemukan penari Indonesia dengan penari Eropa untuk sama-sama mengeksplorasi diri. Antara lain Agus Margiyanto dan Ioannis mandafounis, Darlane Litaay dan Tian Rotteveel, Fitri Setyaningsih dan Nicola Mascia, Elia Nurvista dan Josh Johnson.
“Ini sebuah perjumpaan tubuh,” kata Direktur Program Mousonturm Anna Wagner dalam sambutan pembukaan. Kemarin, penonton terlihat makin penasaran saat Eko menjelaskan asal-usul para penarinya yang rata-rata anak nelayan atau petani kopra. ”Daerah Jailolo dulu adalah kawasan konflik antara muslim dan Katolik. Tapi kini anak-anak bersatu dalam tari,” katanya.
SENO JOKO SUYONO (FRANKFURT)