TEMPO.CO, Jakarta -Dalam gelap malam, sekelompok lelaki bergerak dalam diam melewati rumput-rumput yang tinggi. Mereka lantas mengeluarkan tangga untuk memanjat dinding. Dua di antara mereka sempat melintasi tembok setinggi lima meter itu. Sisanya kabur karena mendengar tentara datang. “Apa mereka selamat?” “Apa mereka terluka?” Mereka bertanya tentang dua kawan mereka yang telah melintasi tembok di Tepi Barat yang membelah Palestina dan Israel.
Layar berganti. Kali ini siang hari di pinggiran jalan raya. Sebuah mobil van menepi, lalu sekelompok perempuan berkerudung dan lelaki berjanggut berlomba naik. “Saya hanya ingin beribadah ke Masjidil Aqsa,” kata salah satu perempuan dalam rekaman itu. “Mengapa mereka menyulitkan kami untuk menyeberang,” katanya. Lalu adegan berganti lagi, kali ini tentang lubang tersembunyi tempat seorang anak laki-laki menyelundupkan roti prancis ke saudaranya di seberang tembok. Bercelana jins dan bersepatu Nike dia berkata, “hidup di sini sulit, tak ada lapangan kerja di sini.”
Adegan kini berpindah ke perempuan berkerudung itu, dia mengeluarkan surat izin untuk beribadah ke Masjidil Aqsa. Namun, tentara perempuan Israel menolaknya. Adu mulut pun terjadi, dilanjutkan dengan yel yel dukungan sesama peziarah yang ingin beribadah. Lalu bunyi letusan senapan, asap di mana-mana, kerumunan peziarah berlari menyelamatkan diri.
Film berjudul Infiltrators yang diputar Senin, 25 Agustus 2015 ini menampilkan dampak dari kekerasan politik lewat perjuangan para penyeberang di Tepi Barat. Entah untuk ibadah atau bekerja. Kamera menampilkan harapan, kekhawatiran juga kekerasan fisik yang terjadi pada para penyebrang. Film 69 menit ini merupakan salah satu dari 35 film yang lulus kategori kompetisi internasional dalam dalam Festival Film Eksperimental dan Dokumenter Internasional Arkipel. Total, ada 130 film yang diputar dalam festival yang diselenggarakan Forum Lenteng selama 22-29 Agustus 2015 di Jakarta ini.
Dalam kompetisi internasional Arkipel, tak ada karya sineas Indonesia yang lulus. Padahal dari 1.200 submisi film yang masuk, hampir 100 karya merupakan kiriman pembuat film lokal. “Karya dari Indonesia enggak ada yang lulus dalam kompetisi internasional. Jelek," kata Yuki Arditya, Direktur Festival, Jumat lalu. Tetapi, beberapa film Indonesia ditayangkan. Salah satunya dalam segmen ‘Storytelling Creativity on Human Rights Repression.” Segmen ini dibuat oleh Jonathan Manullang, salah satu dari tiga kurator yang memenangkan Asian Young Curator, kompetisi kurator dalam festival ini. Jonathan menampilkan respresi terhadap hak asasi manusia di Indonesia lewat tiga film dalam segmen ini : Kameng Gampong Nyang Keunong Geulawa (1999), A Trip To The Wound (2008), dan Tragedi kali Abang (2015).
Judul Kameng Gampong Nyang Keunong Geulawa (1999),” berasal dari perumpamaan lokal. “Kambing gunung yang makan jagung, kambing kampung yang kena pukul,” untuk menganalogikan warga kampung Tiro, Aceh yang kerap mengalami penyiksaan dari TNI AD dan kopassus karena dianggap memiliki hubungan dengan Hasan Tiro. Analogi ini diungkap oleh salah satu narasumber yang mengalami penyiksaan selama Daerah Operasi Militer diterapkan di Aceh pada 1989-1998. Film dalam format hitam putih yang dibuka oleh seorang laki-laki bersarung, berkemeja putih dan berkopiah di tengah sawah. Dia mendendangkan lagu aceh untuk bercerita penderitaan rakyat Aceh selama operasi militer.
Film ini mengungkap kepedihan pada korban yang kehilangan keluarganya, ketakutan dan kebencian mereka terhadap tentara dan keinginan mereka untuk merdeka dari Indonesia. Mereka menunjuk tempat-tempat penyiksaan, tempat-tempat mereka kehilangan keluarga, dan rumah mereka. Film ini dibuat Aryo Danusiri pada 1999 untuk ELSAM. Hingga kini, film ini merupakan pionir dibuatnya film-film dokumenter oleh lembaga swadaya masyarakat.
Tragedi Kali Abang merupakan film buatan Arifin, mahasiswa sarjana jurusan Sejarah Universitas Negeri Yogyakarta yang dibuat berdasarkan penelitian akademik tentang benturan dua kelompok tani lokal di Jawa Tengah sebelum 1 Oktober 1965. Kualitas pemeran film ini di bawah rata-rata, transisi adegan mirip dengan presentasi PowerPoint, ada pula kesalahan-kesalahan teknis dalam pengambilan gambar, seperti bayangan yang bergerak saat pemeran diam. Penggambaran aktivis PKI dalam film ini masih terpengaruh dengan Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI karya Arifin C. Noer, yang berbaju putih dan merokok tanpa henti. Sesekali penonton malah tertawa di tengah tendensi serius film ini. Jonathan mengakui bahwa kemasan film ini memang ‘telanjang,’ namun dia mengapresiasi mahasiswa dan universitas yang memberikan ruang bagi riset akademik untuk dipublikasikan dalam medium film.
Sebab, kata Jonathan, film tentang konflik suku atau daerah jarang ditemukan. Padahal, negeri ini mengalami luka-luka akibat konflik. Tema besar dalam festival ini adalah ‘Grand Illusion.’ Tema yang berasal dari gagasan Renoir dan Angell itu, menurut Yuki, tepat untuk Indonesia, negara yang banyak mengalami ilusi-ilusi besar dalam sejarah sosial politik.
AMANDRA MUSTIKA MEGARANI