Cara Mira Lesmana Membuat Film Adaptasi dari Buku
Editor
Kodrat setiawan
Senin, 8 Juni 2015 06:10 WIB
TEMPO.CO , Makassar: Menonton film dan membaca buku adalah dua hal berbeda. Untuk sebuah buku yang difilmkan, bisa jadi kita menemukan hal berbeda. Makassar International Writers Festival (MIWF) kali ini menghadirkan sebuah acara “Don’t Judge the Book by Its Movie!”. Perhelatan ini menghadirkan Mira Lesmana, Ifah Ismail, dan Nurhady Sirimorok untuk memperbincangkan tentang film yang diangkat dari buku.
“Agar film memiliki kualitas yang bagus, tak cukup hanya mengandalkan novel, tapi butuh riset,” kata Mira Lesmana di Aula Museum La Galigo, Fort Rotterdam, Rabu dua pekan lalu.
Produser film ini mencontohkan, untuk film Soe Hok Gie, yang diangkat dari buku harian Catatan Seorang Demonstran. Mira harus menambahkannya dengan wawancara beberapa saksi hidup sosok Soe Hok Gie.
Sebuah film, ujar Mira, dibagi dalam tiga babak, yakni pengenalan tokoh, konflik, dan penyelesaian. “Durasi waktu maksimal 2 jam pemutaran menjadi pertimbangan besar mengapa hanya mengambil tiga babak saja dalam memfilmkan sebuah buku,” ucap Mira.
Seorang penulis buku, kata Mira, harus memberi kesempatan kepada sutradara untuk mengambil sudut pandang berbeda dalam bercerita. Menurut dia, setiap orang punya persepsi berbeda terhadap momen penting. Meski demikian, sebuah film harus tetap menjawab tentang momen penting buku yang diadaptasi.
Penulis skenario film Habibie dan Ainun, Ifah Ismail, mengaku memasukkan beberapa unsur dan adegan untuk menambahkan efek dramatisasi agar lebih membetot emosi penonton.
<!--more-->
Ifah menyebutkan, adegan perempuan yang datang menyodorkan proposal dalam buku yang ditulis Habibie tidak ada. Tapi, dalam film, adegan itu ditambahkan agar lebih dramatis. Hal ini bisa dimaklumi oleh Habibie.
Menurut Ifah, dalam memfilmkan buku perlu melihat kejadian mana yang punya pengaruh kuat ke dalam cerita, ini adalah salah satu cara memilih bagian cerita dalam buku yang harus diprioritaskan.
Sedangkan menurut Dandy—sapaan Nurhady—sineas Indonesia melalui media film punya peluang besar untuk menutupi kurang berkembangnya karya sastra Indonesia. “Saya melihat ada usaha yang lebih berani yang ditunjukkan oleh para sineas Indonesia,” kata penulis buku Laskar Pemimpi ini, sebuah buku yang mengkritik karya Andrea Hirata.
“Film yang berhasil adalah film yang berani tidak setia pada buku yang diadaptasi,” ujar Dandy. Ia mencontohkan, film Laskar Pelangi yang dibesut Riri Riza, yang berhasil membuang segala hal yang fantastis kemudian menambahkan satu tokoh, adalah sebuah terobosan yang membuat film ini lebih bagus ketimbang bukunya.
Ingin tahu perbedaan kedua budaya ini? Baca bukunya, dan tonton filmnya.
MUHCLIS ABDUH