TEMPO.CO , Makassar: Satu per satu peserta “Kelas Sharing” membacakan cerita mereka. Sumarni Arianto, memilih cerita pendek berjudul Pelajaran Mengarang. Marni—sapaan Sumarni—membaca, menuntun peserta untuk mengikuti kisah karya Seno Gumira Ajidarma. Peserta yang tak lebih dari 10 orang itu memilih posisi nyaman dengan duduk melingkar.
“Ibu Guru Tati menawarkan tiga judul yang ditulisnya di papan putih. Masing-masing Keluarga Kami yang Berbahagia, Liburan ke Rumah Nenek, dan Ibu,” tutur Marni membacakan cerpen Pelajaran Mengarang. Ia bercerita tentang kisah Sandra, anak 10 tahun, yang harus membuat karangan dan memilih satu dari tiga tema itu. Namun dia bingung akan bercerita apa, karena Sandra tak memiliki kisah bahagia dengan ibu maupun keluarganya yang lain. (Baca juga: Wakil Rakyat Menutup Kala Monolog)
Cerpen seribuan kata itu tuntas dibacakan Marni. Berikutnya, peserta diminta bercerita secara bergiliran. Muhammad Ashry Sallatu awalnya kurang percaya diri menceritakan pengalamannya dengan bermonolog.
Namun akhirnya ia menceritakan tentang percakapannya dengan dua anaknya di rumah. Anak sulungnya menyampaikan, bahwa dia harus membawa buah favoritnya ke sekolah. “Saya kemudian menanyakan, ‘Kakak, apa buah favoritnya?’ Anak saya menjawab, anggur tanpa biji.”
<!--more-->
Lalu, si adik turut dalam percakapan, bahwa dia juga ingin membawa buah favoritnya. “Saya suka kelapa, Ayah!” katanya mencontohkan si adik. Jawaban anaknya itu membuat Ashry terkekeh sekaligus bingung. Sebab, kelapa cukup besar untuk dibawa si adik ke sekolah.
“Monolog sesederhana orang sedang bercerita,” ungkap Luna Vidya, pembicara dalam Kelas Sharing bertema “Monolog” yang digelar di Gedung BaKTI Jalan Mappanyukki, Makassar, Jumat dua pekan lalu. Sore itu, Luna meminta peserta untuk membaca cerpen, syair lagu, bahkan ada yang menceritakan pengalaman pribadinya.
Luna menjelaskan lebih rinci bahwa monolog adalah aktivitas bercerita yang ditambahkan latar belakang lampu dan sedikit iringan musik. Cerita latar dan musik ini kemudian diatur menjadi sebuah pertunjukan. “Jadi, aktor monolog tetap perlu punya kemampuan bercerita.”
Menurut Luna, sebenarnya ada banyak pertunjukan rakyat yang merupakan kegiatan monolog—pertunjukan yang dibawakan oleh satu orang, memberikan sentuhan artistik dan menghadirkan beberapa karakter dalam ceritanya. “Stand-up comedy termasuk monolog.”
<!--more-->
Dalam menyajikan monolog, kata Luna, seseorang harus yakin dengan setiap kalimat yang diucapkannya. “Monolog itu bercerita tentang apa yang sedang kita kerjakan, tidak sekadar menceritakan,” ujar perempuan kelahiran Danau Sentani, Papua ini. Jika cerita disampaikan dengan penuh keyakinan dan berirama, kata Luna, akan membantu penonton menerima pesannya.
Mengucapkan setiap kalimat, Luna melanjutkan, ada baiknya jika memindahkan pengalaman emosional kita yang berhubungan dengan kata-kata tersebut. Artinya, di kepala, kita menciptakan suasana yang ingin disampaikan. Misalnya, kalimat tentang kesepian, maka kita perlu mengingat pengalaman tentang kesepian itu. “Kita harus cari sesuatu yang dekat dengan kita, yang kita sendiri kenal dan tahu, seperti kebiasaan. Apa yang dirasakan saat itu seharusnya dipakai saat bercerita.” Sebab, menyimpan emosi dalam setiap kata adalah kekuatan dalam bercerita.
Tak sekadar kata dan pesan, dalam panggung monolog seorang aktor juga harus bisa menghadirkan lebih dari satu karakter. Siasat ketika berganti peran, Luna menambahkan, bisa dengan berpindah posisi, mengubah nada suara, atau dengan gestur (sikap atau gerak-gerik). Kita bisa berganti peran tanpa memberi tahu penonton. Mereka akan mengerti. Misalnya, karakter perempuan dan laki-laki. Saat menjadi perempuan, kita bisa mengambil posisi duduk. Sedangkan laki-laki bisa diperankan dengan posisi berdiri.
<!--more-->
Luna juga menjelaskan detail-detail yang “cantik” untuk menciptakan irama monolog. Perpindahan kecil, seperti mengangkat selendang, memalingkan muka, memangku kaki, adalah termasuk usaha dalam menampilkan cerita secara artistik. “Gerakan kecil itu akan sangat berarti,” ungkap pemeran monolog berjudul Makkunrai ini.
Menurut Luna, dalam menghadirkan pertunjukan monolog yang menarik, seorang aktor harus memilih titik mulai yang bagus. Jadi, tidak harus selalu dimulai dari awal naskah. Menurut Luna, naskah apa saja bisa jadi bahan monolog. Baik teks lagu, cerpen, hingga skenario pementasan besar.
Untuk menghadirkan pertunjukan monolog yang menarik. Luna biasanya membuat bagan untuk tiap-tiap adegan guna menguatkan ingatannya tentang alur cerita dan mengenal karakter-karakter dalam cerita. Agar penonton fokus pada cerita, Luna menyarankan agar menggunakan satu lampu ditambah sebuah bangku kecil yang menjadi benda pendukung favoritnya.
REZKI ALVIONITASARI
Berita lain:
Mayat Wanita Korban Pemerkosaan Tergolek di Kebun
Harga Hewan Kurban Anjlok Menjelang Idul Adha
Anas Urbaningrum Divonis 8 Tahun Penjara