Eric Clapton dan Singapura yang Kelewat Kalem (1)
Editor
Yudono Yanuar Akhmadi
Rabu, 5 Maret 2014 00:00 WIB
TEMPO.CO, Singapura - Sewaktu Deep Purple konser di Jakarta beberapa tahun lalu, Ian Gillan, sang vokalis, pernah ditanya: apa ia masih mampu bersuara melengking saat menyanyikan Child In Time? Saat itu usia Gillan sudah lewat kepala enam. Dengan enteng Gillan menerima tantangan menyanyikan lagu bernada tinggi itu. "Lihat saja nanti," ucapnya seraya tersenyum.
Saat menonton konser Eric Clapton di Singapore Indoor Stadium, Selasa 4 Maret malam, kecemasan yang sama sempat terbersit. Apa ia masih sememukau seperti ketika periode The Yardbirds pada pertengahan 1960-an, Cream dan Derek and The Dominos tahun 1970-an atau satu dekade kemudian. Bukan apa-apa, rambutnya sudah memutih, kulitnya berkerut, usianya 69 tahun! Apa yang bisa diharapkan dari pemusik gaek seperti itu?
Tengoklah penonton yang datang begitu irit ketika pintu gerbang dibuka pukul 19.00. Dari gedung berkapasitas 5.000-an kursi itu belum sepertiganya yang datang sampai 40 menit kemudian. Penontonnya sebagian besar 40 tahun ke atas. Suasana ini pasti sangat jauh berbeda jika konser digelar di Jakarta. Singapura memang terlalu kalem untuk menggelar konser yang semestinya penuh dengan deru blues ini. Tak ada anak-anak muda yang berbondong-bondong dengan penampilan "ngerock habis". Kota ini kelewat tertib.
Dengan "jemaat" setia yang telah berumur itu, sejumlah permakluman boleh jadi sudah mereka bawa dari rumah. Tak soal, misalnya, jika gitaris berjuluk "Slowhand" benar-benar slow ketika memetik gitar. Maklum, usia tak bisa menipu. Yang penting memori mereka bisa terpelanting ke masa-masa indah saat mereka kesengsem dengan "Layla", lagu yang merayakan cinta yang tersembunyi atau "Cocaine" yang mengingatkan pada periode gelap Clapton yang pernah kecanduan obat-obatan. Saat itu istrinya meninggalkannya sendiri di kamarnya dan menguncinya. Sang istri berucap, "Maaf kami akan menikmati Natal tanpamu".
Kepedihan dan perjalanan penemuan diri Clapton inilah yang hendak dikenang kembali penggemarnya kini. Mereka datang dari berbagai negara. Sebagian merupakan turis yang sedang bertandang ke negeri ini. Mulai dari sesama Asean, Jepang, India, Inggris dan bahkan Rusia. Mereka seperti tak ingin kehilangan momen penting, seperti yang disebut Clapton di Budokan, Jepang, 28 Februari lalu, "Saya mungkin tak akan kembali ke sini."
Jadi sangat wajar bila pecinta pemusik blues kelahiran Ripley, sebuah desa di Surrey, Inggris itu memburu konser bertitel "Eric Clapton Tour" di lebih dari 10 negara hingga akhir Juni nanti tersebut. Para penggemarnya di Thailand, misalnya, harus kecewa karena Clapton membatalkan turnya di Bangkok 1 Maret lalu lantaran suhu politik yang memanas. The Telegraph menulis konser yang gagal itu dengan judul "Tears in Thailand".
Para penggemar agaknya ingin menjadi bagian dari perjalanan sang legenda. Di Budokan dan empat kota lain di Jepang, konsernya begitu emosional. Di Singapura? Akankah Clapton sanggup menggiring pada suasana yang sama? Apa ia juga mampu menunjukkan pesona blues pada anak-anak muda yang ternyata baru mulai menyesaki Indoor Stadium pada pukul 20.15? (Bersambung)
YOS RIZAL SURIAJI (SINGAPURA)
Terkait:
Eric Clapton dan Singapura yang Kelewat Kalem (1)
Malam Blues yang Tak Akan Pernah Datang Lagi (2)
Konser Eric Clapton Tanpa Cocaine (3-habis)