Seniman Indonesia dan Malaysia Bertukar Pengalaman
Editor
Nunuy nurhayatiTNR
Selasa, 26 Maret 2013 17:18 WIB
TEMPO.CO, Yogyakarta - Lukisan berjudul Empire State of Mind itu bergambar wanita dengan bibir tersungging dan mata melirik tajam. Di kepalanya tampak kastil dengan dinding ditumbuhi pohon, menara tinggi, rumah, tiang lampu jalanan, serta dua ekor rusa dengan tanduk bercabang panjang. Rambutnya yang tersanggul rapi dihiasi dengan ranting pohon, bunga, lampu taman, dan rantai menjuntai. Ada kengerian di balik wajah cantik dan dandanan eksentriknya itu.
“Lukisan itu terinspirasi oleh seorang dukun di Malaysia,” kata Rocka Radipa, 37 tahun.
Rocka ke Malaysia untuk mengikuti program residensi, Nafas Residensi. Selama sebulan, pada November 2012, perupa lulusan Institut Seni Indonesia Yogyakarta itu tinggal di sana. Dukun yang dia maksud adalah Huma, 89 tahun, seorang pelukis jalanan sekaligus paranormal yang dia jumpai pada suatu sore di George Town, Penang, Malaysia. Dalam karyanya, Huma menjadikan hantu dalam imajinasinya sebagai obyek lukisan.
Di George Town pula, Rocka bertemu dengan Soon, seorang musikus jalanan berusia 70 tahun. Dengan alat musik sederhana, sejenis kecapi, lelaki tua itu memberikan inspirasi bagi Rocka untuk membuat deftone. Deftone adalah sebuah karya berupa alat musik berbentuk mirip gitar dengan bulatan yang lebih kecil di ujung lehernya. Alat ini bekerja dengan menggunakan sensor gerak. “Cara kerja sensornya mirip remote control pada televisi,” kata dia.
Manajer Nafas Residensi, Evie Triasari mengatakan program residensi memberikan kesempatan kepada seniman untuk saling mengenal budaya negara berbeda. Seniman yang dipilih adalah mereka yang memiliki konsep karya bersifat global tentang Asia.
Tanpa membatasi media yang digunakan, seniman tersebut memiliki perhatian terhadap isu-isu bersama di dua negara. “Untuk memperkuat seni rupa di Asia,” kata dia. Dari Indonesia, selain Rocka, ada Donna Prawita Arissuta dan Anton Subiyanto yang mengikuti program residensi. Tapi hanya Rocka yang mendapat kesempatan berkunjung ke Malaysia, bersama kurator Rusnoto Susanto.
Tahun ini, tiga orang seniman asal Malaysia, yakni Mariana Saleh, Muhammad Syahbandi Samat, dan Ruzzeki Harris diberi kesempatan juga untuk tinggal di Yogyakarta selama sebulan.
Selama program residensi, setiap seniman menghasilkan karya yang kemudian dipamerkan di Langgeng Art Space Yogyakarta dalam pameran bertajuk "Showcase Cycle Two 2013" pada 13-22 Maret 2013. Tak kurang dari 30 karya enam perupa peserta residensi yang dipajang di sana.
Jika Rocka terinspirasi dengan orang-orang yang ditemui di negeri jiran, seniman Malaysia Mariana Saleh justru terpesona dengan situs sejarah bekas pemandian Taman Sari yang terletak di lingkungan KeratonYogyakarta. Mariana yang datang ke Yogyakarta bersama dua anaknya, terinspirasi bentuk pintu dan jendela di Taman Sari ketika membuat lukisan berjudul Mimpi di Taman Sari.
Perupa yang lebiih banyak menampilkan obyek anak-anak dalam lukisan itu menggambar seorang anak perempuan dalam posisi menyamping di dalam jendela berbentuk setengah lingkaran.
Selain terinspirasi dengan arsitektur Tamansari, Mariana terinspirasi dengan wayang kulit. Seniman grafis lulusan Art Direction School and Desaign, Kuala Lumpur ini menambahkan gambar wayang dalam karyanya yang berjudul Aku dan Srikandi. Mariana mengatakan tertarik dengan wayang karena di Malaysia juga ada wayang. Bedanya, “Di Malaysia wayang sudah pupus (punah),” katanya. Sementara di Indonesia, wayang tetap dilestarikan.
Kurator pameran, Rusnoto, mengatakan program ini menggali kesamaan budaya yang sama di antara kedua negara. “Seniman Indonesia dan Malaysia memiliki spirit yang sama,” kata dia.
Selama sebulan di Malaysia, ia mendapati perkembangan seni rupa yang pesat. Padahal di tahun 2000, kata dia, dunia seni rupa di negeri jiran itu belum apa-apa dibanding di Indonesia. Perkembangan itu tak lepas dari perhatian pemerintah mereka terhadap karya intelektual. Sejumlah seniman yang dinilai berbakat dikirim ke sejumlah negara untuk sekolah. Cara itu dilakukan untuk mengejar ketertinggalan. Sayang, upaya yang sama tidak dilakukan di Indonesia.
ANANG ZAKARIA
Berita Terpopuler:
Tahanan LP Sleman Sempat Dianiaya Sebelum Ditembak
Drama 14 Jam Serangan Penjara Cebongan Sleman
Asal-usul Peluru di Penjara Cebongan Sleman
Gara-gara Eyang Subur, Adi Bing Slamet Dimusuhi
Pengamat: Penyerangan LP Sleman Tanda Frustrasi