Ketika Agus Suwage Mengingat Kematian  

Reporter

Editor

Selasa, 22 Februari 2011 13:38 WIB

TEMPO Interaktif, Yogyakarta - Ukuran tangkai sekop itu tak biasa, hampir 3 meter dan tergantung menempel di dinding. Di atasnya, tiga gagak bertengger. Sorot matanya tajam siap menerkam. Bahkan kepala seekor di antaranya menoleh, terlihat mencari-cari mangsa. Cukup sudah kedua obyek itu menggambarkan aroma kematian. Bulu hitam burung tersebut mengerikan, apalagi ditambah kehadiran sekop yang akrab digunakan untuk menggali kubur.

Itulah Dead Poet Society, sebuah seni instalasi karya perupa Agus Suwage. Dead Poet Society dan empat karya Agus lainnya kini tengah dipamerkan bersama sembilan karya perupa Italia, Fillipo Sciascia, di Langgeng Art Foundation, Yogyakarta, hingga 4 Maret nanti.

Bagi Agus, 52 tahun, perupa kelahiran Purworejo, Jawa Tengah, 52 tahun silam, Dead Poet Society tak hanya bercerita tentang kematian. Di balik dua benda itu, juga ada pesan tentang kehidupan. Hidup dan mati, memang ibarat dua sisi mata uang, yang tak terpisahkan. Selalu ada kelahiran di balik kematian makhluk hidup di dunia.

Konsep itu kental tercermin dari pemilihan bahan karyanya. Jika diamati lebih terperinci, tiga gagak itu dibuat dari ukiran kayu. Dan, untuk menghasilkan warna hitam bulunya, Agus membakarnya. Proses itu mirip seperti membuat arang kayu. Arang atau abu adalah gambaran tentang kepunahan sekaligus media kehidupan. Dengan arang, sejumlah tanaman, misalnya, bisa hidup dan tumbuh berkembang.

Adapun sekop adalah idiom benda yang digunakan Agus untuk menyelami dasar pemikiran itu. "Menggali untuk mendalami kehidupan," katanya. Menurut Agus, beberapa tahun terakhir ini dia lebih tertarik pada tema berbau kematian dalam karyanya. "Itu karena kita hidup," ujarnya.

Dalam pameran bertema "Illuminance" itu, konsep Agus tentang hidup-mati, kepunahan-kelahiran, hingga layu-berkembang hadir dalam satu dimensi ruang. Pada karyanya yang lain, yang berjudul Eros Kai Thanatos #1, misalnya, dia melukis bermacam kerangka manusia, dari tengkorak kepala, jari-jari tangan dan kaki, tulang punggung, hingga rusuk. Agus juga melukis bermacam bunga.

Advertising
Advertising

Obyek-obyek itu dia lukis satu per satu di atas 40 lembar kertas yang masing-masing berukuran 56 x 42 sentimeter. Berikutnya, lukisan itu disusun berdampingan dalam satu rangkaian acak, antara bunga dan kerangka manusia. Kedua obyek itu dilukis Agus dalam warna monokrom, hitam dan putih.

Bagi Agus, jika kerangka manusia menggambarkan kematian, bunga melukiskan pertumbuhan. "Kedua sifat itu bagian proses evolusi," ujarnya.

Selanjutnya karya Cycles of Hope, instalasi yang terdiri atas tumpukan tulang belulang manusia lengkap dengan puluhan tengkorak kepala. Barang itu ditumpuk di sudut ruang pameran. Bahan yang dipakai untuk membuat tulang itu berasal dari grafit poliester, sejenis arang alami yang biasa digunakan sebagai bahan baku pembuatan pensil. Pada karya itu, Agus kembali memasukkan patung gagak dalam satu kesatuan karya. Bedanya, bulu gagak tak lagi hitam, melainkan kuning emas mengkilat.

Agus memang terkesan oleh gagak. Ceritanya, beberapa tahun lalu, dia mengikuti sebuah lokakarya di Bangladesh. Agus melihat gagak sangat akrab dengan warga kota di sana. Burung-burung itu bebas berkeliaran di kota. Gagak-gagak mencari makan dari sampah-sampah yang bertebaran di berbagai sudut jalan dan permukiman warga. "Selain menjadi simbol kematian, ternyata burung itu telah berjasa menjaga kebersihan kota," katanya.

Karya instalasi terakhir yang disuguhkan Agus bertajuk An Offering to Ego. Karya instalasi itu berbentuk kerangka manusia utuh dibuat dari grafit poliester dengan ukuran hampir empat kali ukuran manusia normal. Karya tersebut terbaring di lantai pameran. Menurut Agus, An Offering to Ego memang sebuah sindiran. "Betapa ego manusia besarnya kadang melebihi ukuran fisiknya."

Begitulah. Intinya, konsep dari semua karya yang disuguhkan Agus adalah tak ada yang abadi dalam hidup ini. Konsep itu klop ketika bertemu dengan ide "Fall and Rise" yang ditawarkan perupa Italia, Filippo Sciascia, sejawatnya yang menetap di Bali. Dan, sejak lima tahun lalu, mereka kerap berpameran bersama.

Illuminance bukanlah pameran bersama pertama mereka. Sekitar setahun lalu, dengan tema dan karya yang sama, pameran serupa pernah mereka gelar di National University of Singapore Museum. Disponsori Langgeng Art Foundation, karya-karya mereka terpajang selama tiga bulan di sana, sepanjang 27 Agustus hingga 14 November 2010.

Di antara sembilan karya Fillippo itu adalah Domus Completus, Domus Incipit, Lumen Sutilis, Manifesto #1 dan #2, serta Lux Lumina. Karya-karya tersebut terdiri atas karya lukis di kanvas, seni instalasi, dan video. Seperti halnya karya Agus, Fillipo membawa ide tentang keseimbangan dan sebuah proses yang berkesinambungan dalam hidup.

ANANG ZAKARIA

Berita terkait

Mengenal Voice Against Reason, Pameran Seni Rupa Kontemporer dari 24 Perupa

42 hari lalu

Mengenal Voice Against Reason, Pameran Seni Rupa Kontemporer dari 24 Perupa

Pameran seni rupa ini diikuti perupa dari Australia, Bangladesh, India, Jepang, Singapura, Taiwan, Thailand, Vietnam, dan Indonesia.

Baca Selengkapnya

Grey Art Gallery Bandung Gelar Pameran Seni Rupa Islami Karya 75 Seniman

49 hari lalu

Grey Art Gallery Bandung Gelar Pameran Seni Rupa Islami Karya 75 Seniman

Pameran seni rupa Islami ini menampilkan 85 karya 75 seniman yang membawa kesadaran bagaimana memaknai nilai-nilai Islam.

Baca Selengkapnya

Belasan Seniman Gen Z dari 3 Kampus di Bandung Gelar Pameran Seni Rupa Equivocal

16 Oktober 2023

Belasan Seniman Gen Z dari 3 Kampus di Bandung Gelar Pameran Seni Rupa Equivocal

Gen Z menggelar pameran seni rupa yang berisi karya digital art, seni instalasi, gambar atau drawing, lukisan, seni grafis, patung, juga performance

Baca Selengkapnya

Selasar Sunaryo Gelar Pameran Lengan Terkembang Karya Belasan Seniman Difabel

23 September 2023

Selasar Sunaryo Gelar Pameran Lengan Terkembang Karya Belasan Seniman Difabel

Program itu dilatari oleh kenyataan bahwa pameran seni rupa di Indonesia selama ini belum menjadi ruang khalayak yang inklusif.

Baca Selengkapnya

Pameran Seni Rupa Artsiafrica#2 di Bandung Tampilkan 170 Gambar

19 September 2023

Pameran Seni Rupa Artsiafrica#2 di Bandung Tampilkan 170 Gambar

Pameran seni rupa bertajuk Artsiafrica menampilkan sosok warga Asia dan Afrika lewat muka hingga balutan budayanya di negara masing-masing.

Baca Selengkapnya

Kelompok Ambari dari Alumni ITB Gelar Pameran Prismeu di Galeri Orbital Dago Bandung

4 September 2023

Kelompok Ambari dari Alumni ITB Gelar Pameran Prismeu di Galeri Orbital Dago Bandung

Karya yang ditampilkan 9 anggota dari kelompok Ambari dalam pameran Prismeu adalah perwujudan dari benda atau alam sekitar yang nyata di keseharian.

Baca Selengkapnya

Fenomena Alam dan Sosial di Pameran Tunggal Iwan Suastika

20 Agustus 2023

Fenomena Alam dan Sosial di Pameran Tunggal Iwan Suastika

Pameran tunggal Iwan Suastika diharapkan dapat membangun diskusi bersama tentang nilai-nilai kemanusiaan dengan perubahan alam.

Baca Selengkapnya

Lato-lato dan Rumus Fisika di Pameran Seni Rupa Ruang Dini Bandung

19 Juni 2023

Lato-lato dan Rumus Fisika di Pameran Seni Rupa Ruang Dini Bandung

Pameran Seni Rupa yang berlangsung di Galeri Ruang Dini, Bandung itu banyak menggunakan media papan kayu.

Baca Selengkapnya

Galeri NuArt di Bandung Gelar Pameran Mekanisme Pertahanan Manusia

21 Mei 2023

Galeri NuArt di Bandung Gelar Pameran Mekanisme Pertahanan Manusia

Ada cara yang dinyatakan oleh para seniman dalam pameran seni rupa ini, seperti mengenali ulang apa yang terlihat sebagai realitas keseharian.

Baca Selengkapnya

Pameran Bianglala Seribu Imajinasi, Wadah Seniman Penyandang Autisme Unjuk Diri

7 April 2023

Pameran Bianglala Seribu Imajinasi, Wadah Seniman Penyandang Autisme Unjuk Diri

Imajinasi unik dan berbeda yang dimiliki penyandang autisme ini terlihat dari karya mereka yang memiliki makna sudut pandang sendiri.

Baca Selengkapnya