Indonesian International Fiber Art Exhibition 2011
Minggu, 13 Februari 2011 14:07 WIB
Untuk menggambarkan ide itu, mereka menggunakan idiom tali yang terbuat dari serabut batang daun kelapa. Terkait pada sebuah jarum berukuran besar yang terbuat dari kayu, tali itu menembus gedhek dan membentuk sulaman tak beraturan.
Menurut Dwijoko Harianto, satu diantara 8 perupa Lampu Kuning, awalnya seni instalasi itu akan dibuat dengan memanfaatkan dinding tembok pameran. "Karena takut dinding rusak, maka diganti gedhek," katanya ditemui di sela pembukaan pameran seni serat berjudul "Fiber Face 3: Indonesian International Fiber Art Exhibition 2011" di Taman Budaya Yogyakarta, Sabtu (12/2) malam kemarin.
Kurator pameran Joanna Barrkman dalam catatannya menyebutkan, karya itu mempertunjukkan segi tersembunyi dari suatu situasi.
Pameran bertema Transformation itu tak hanya mengeksplorasi seni serat secara konvensional yang terbuat dari jaringan nabati. Semisal kapas, daun, rotan, bambu ataupun tali. Tapi sekaligus mengeksplorasi seni serat dalam bahan dan teknik lain, seperti patung yang dianyam dari bilah logam, kebaya dari lembaran aluminium dan pita kaset audio yang dibuat menjadi gaun.
Sesuai temanya, karya puluhan perupa dari dalam dan luar Indonesia pada pameran itu dibebakan dalam sejumlah cluster. Yakni transformasi bahan serat lewat teknik. Cluster ini menghadirkan teknik sulaman tangan dan mesin, aplikasi, aplikasi balik, renda, tenun hingga penggandengan. Selain itu, karya seni serat yang dipajang di cluster itu juga menampilkan berbagai bahan, benang-pintal sutera, benang buangan limbah, kertas buatan tangan hingga bahan konvensional semisal kain katun.
Di antara karya seni serat di sini adalah karya Bambang Trilaksana berjudul Wild Imagination, Esti Siti Amanah Gardana berjudul Journey Across the Sahara Desert atau Charissa Delima berjudul Translucence.
Adapun cluster berikutnya menampilkan identitas pribadi, sosial, budaya, dan politik. Karya-karya yang ditampilkan di sini di antaranya adalah karya berjudul Treasure oleh Kahfiati Khadar. Karya berupa kebaya itu terbuat dari foil dan stitched. Atau karya Istnataini Rahmadillah yang berjudul Here dan terbuat dari folded dan forged metal serta karya Yuni Bening berjudul Reversed Good-Good Reversed yang berupa puluhan topi berukuran kecil.
Adapun cluster ketiga menampilkan transformasi lingkungan. Di antaranya adalah karya Indrani Ashe dan Arum Sekar Prameshwari berjudul Inner Space, Tofan A Widianto berjudul Save The Earth dan Dian Widiwati berjudul Earth.
Dan yang terakhir adalah cluster menembus kategorisasi. Dari bahan dasar, tema dan ekspresi gagasannya, cluster ini menggambarkan keragaman penciptaan seni serat kontemporer. Di antara karya yang dipajang di sini adalah karya Aprina Murwanti berjudul In Memorian Love, Mella Jaarsma berjudul Image of a No Dream dan Ayu Aulia berjudul Butterfly.
Selain itu dalam pameran yang akan digelar hingga 25 Februari nanti itu juga menyediakan pojok ruang tersendiri untuk memajang beragama kain khas Batak. Seni serat di Batak dipercaya terlah berkembang sejak ribuan tahun silam. Asal muasalnya dari mitos seorang dewi di "dunia atas", yakni Si Boru Deak Parujar.
Sejak itulah, manusia mulai menenun hingga kini. Dan, pameran ini tentu akan menjadi sebuah penghormatan bagi penenun pertama dan kemampuan kreatif dan teknis bagi keturuan sang dewi di bumi.
ANANG ZAKARIA