Hutan, Air, dan Jalanan. Demikian judul komposisi garapan Nikanor Ranggesajuli Hariprawiro. Sebuah komposisi unik hasil olahan teknologi audio. Suara-suara kehidupan di sekeliling kita itu, termasuk dentang lonceng gereja itu ditata apik dalam satu irama. Suasana ruangan yang temaram, bahkan gelap, membantu penonton menyimak komposisi yang dibuat pada 2007 lalu itu. Hutan, Air, dan Jalanan seakan mengajak penonton yang memenuhi ruang teater Salihara, Pasar Minggu, Jakarta, Sabtu (22/1) malam lalu berkelana menyusuri rimbunnya hutan, menyeberangi sungai dan berjalan di tepi jalan yang ramai.
Inilah salah satu komposisi yang dipentaskan The Circle, kelompok yang dibentuk para komponis muda di Jakarta dan sekitarnya. Kelompok ini pada mulanya terbentuk sebagai laboratorium belajar bersama di bawah bimbingan Otto Sidharta dan Bernd Asmus. Karya musik yang ditulis para anggota The Circle merupakan kelanjutan dari seni musik zaman terdahulu, seperti musik klasik dan musik tradisional. Sejak dibentuk pada 2004, The Circle rajin mementaskan karya-karya mereka sendiri.
Malam itu, The Circle menampilkan sepuluh repertoar terbaru dari sembilan komponis muda yang pernah menimba ilmu di jurusan komposisi musik Fakultas Seni Universitas Pelita Harapan, Tangerang, Banten. Selain Nikanor (23 tahun), para penonton juga dapat menikmati komposisi garapan Eric Liunardus (24 tahun), Fero Aldiansya Stefanus (22 tahun), Iswara Giovani (24 tahun), Zaki Andiga (27 tahun), Andreas Arianto Yanuar (25 tahun), Dwiani Indraningsri (25 tahun), Matius Shan Boone (25 tahun) dan Gatot Danar Sulistyanto (30 tahun). Konser yang bertajuk π (pi) itu juga didukung oleh musisi-musisi muda berbakat.
“Lingkaran adalah suatu bentuk bangun yang amat teratur, namun secara bersamaan ia memiliki unsur pembentuk (π - phi) dengan pola yang amat bebas. Demikian pula dengan kehidupan, ia terdiri atas keteraturan dan ketidakteraturan yang bahu-membahu,” jelas Andreas tentang tema yang diusung The Circle malam itu. Sebagaimana setiap bentuk kesenian kontemporer, musik yang dihasilkan para komponis muda itu pun merupakan buah interaksi mereka dengan perkembangan budaya yang terjadi hingga kini, termasuk perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, kehidupan urban, dan tradisi.
Konser yang berlangsung sekitar satu setengah jam itu, dibuka oleh sebuah komposisi garapan Dwiani Indraningsri. Karya berjudul Black and White itu hadir lewat permainan marimba-alat musik mirip kolintang- empat tangan yang dimainkan Thressia dan Tobias Ringga. Dilanjutkan dengan repertoar 4 Sisi Pita Merah karya Fero Aldiansya Stefanus. Komposisi yang terbagi menjadi empat bagian - Titik tolak,Sebuah Sisi Pelengkap, Lukisan Merah Jingga dan Pita Kehidupan itu dibawakan oleh pianis Lestika Madina dan penyanyi soprano Ika Sri Wahyuningsih. Keduanya mengeksplorasi nada-nada beroktaf tinggi dan rendah dalam irama maupun vokal.
Piano menjadi alat musik yang paling sering digunakan dalam konser ini. Pada komposisi berjudul Gentasari yang diciptakan Dwiani Indraningsri, Lestika Medina kembali menunjukkan kepiawaiannya menekan bilah-bilah piano dalam permaianan piano empat tangan bersama Angelica Liviana. Lestika juga kembali tampil mengiringi Ika Sriwahyuningsih memainkan komposisi Manisan karya Gatot Danar Sulistiyanto. Kali ini permaianan pianonya berpadu harmonis dengan pukulan perkusi Tobias Ringga.
Dalam Song of City, karya komponis Matius Shan Boone, giliran Ade Satrio memamerkan permainan pianonya yang lebih dinamis. Song of City dimulai dengan nada-nada yang berkesan tak beraturan dengan bunyi-bunyian menusuk yang mendeskripsikan anomaly dari kehidupan perkotaan dan aneka aktifitas yang berlangsung di dalamnya.
Teknik tremolo menjadi ide utama sebagai gambaran kehidupan urban dan kerasnya kehidupan di perkotaan. Nada-nada rendah yang dihasilkan piano (dengan tambahan kertas tipis di atas senar-senarnya)bersahut-sahutan dengan tiupan klarinet Bimo Haryo dan gesekan biola Diki Pradana. Kolaborasi ketiga alat musik yang berbeda itu berpadu harmonis. Tiga alat musik ini pula yang mengemas komposisi Eric Liunardus yang berjudul Ifrit.
Konser ditutup oleh karya Andreas Arianto yang berjudul Kelontong yang memberi sentuhan irama keroncong dalam balutan musik orkestra dengan konduktor Eric Awuy. Sebagai sebuah orkestra, Andreas melibatkan banyak musisi yang memainkan flute, perkusi, selo keroncong, kontrabas, cak, cuk, biola, dan piano. “Sebuah toko kelontong yang sederhana ternyata dapat menyediakan aneka barang yang kita butuhkan dalam kehidupan sehari-hari. Modernitas tidak berarti harus meninggalkan kesederhanaan, maka jangan selalu mudah tergiur akan kemewahan,” jelas Andreas tentang komposisi yang dibuatnya pada 2009 lalu itu.
NUNUY NURHAYATI