Wayan Naya lahir di Banjar Kutuh, Petulu, Bali, 18 Mei 1972. Ia mulai belajar melukis sejak kelas 3 sekolah dasar di bawah asuhan seniman Mangku Made Bartha. Selain itu, ia juga belajar dari lingkungan seniman di Banjar Kutuh Kaja. Keahlian lain Naya adalah melukis desain kimono, kaos, dan perlengkapan pakaian Bali.
Naya juga banyak belajar dari karya-karya seniman besar, seperti I Gusti Nyoman Lempad dan Ida Bagus Made Poleng. Seperti warga Bali umumnya, keterlibatan Nayan dalam berbagai kegiatan adat juga menambah khazanah imajinasi dalam karyanya. Ia terbiasa ngayah di banjar, membuat wadah (perlengkapan ngaben) maupun terlibat pembuatan ornamen di pura.
Tak heran jika karya Naya banyak menampilkan obyek kehidupan sehari-hari orang Bali yang kental dengan ritual agama, mitologi, seni pertunjukan, serta aneka kegiatan lainnya. ”Saya sangat senang mengamati aktivitas warga di lingkungan desa dan tergerak untuk melukisnya di atas kanvas,” kata Naya.
Pemilik Damping Gallery, Wayan Sutarma, mengatakan Naya sangat beruntung mendapatkan talenta yang menonjol dan membuatnya tidak ragu untuk menampilkan dalam sebuah pameran tunggal. ”Kami memilih 31 karya dari rentang waktu 10 tahun belakangan ini,” ujar Sutarma. “Semoga pameran ini memberikan inspirasi dan motivasi bagi seniman tradisi lainnya untuk menggelar pameran tunggal serupa yang selama ini jarang dilakukan.”
Kurator Agus Dermawan T mengatakan, Naya termasuk salah satu eksponen pelukis tradisional Bali yang tampil pada era 1980-an. Angkatan ini boleh disebut sebagai generasi Pita Prada (Kreativitas Emas). Sebagai pelukis tradisional yang hidup di era modern, Naya memiliki banyak tangan yang mampu dan mau mengerjakan banyak hal dalam berbagai kegiatan kemasyarakatan.
Agus menilai Naya memiliki kekuatan sungging yang rinci dan apik. Selain itu, sensibilitasnya dalam menyusun komposisi, kesadaran atas ruang dan jarak, serta kemampuannya menggarap setiap obyek begitu tekun dan teliti. “Jadilah karya lukisan Naya memiliki kekuatan pribadi,” kata Agus.
Naya hidup di tengah evolusi seni lukis Ubud yang kaya aliran dan gaya. Sebagai pelukis, Naya tentu mengamati pergulatan seni yang terjadi di lingkungannya yang memberikan stimulasi, komparasi, dan tantangan. Menurut Agus di tengah hutan belantara seni lukis Ubud, lukisan-lukisan Wayan Naya ibarat pohon besar yang batang, cabang, ranting dan daun-daunnya memancarkan sinar terang. “Dan, akar-akarnya menjanjikan pertumbuhan,” Agus menjelaskan.
ROFIQI HASAN