Dalam karya ini, Nindityo seolah ingin menyentuh wacana kebhinekaan dan sinkretisisme budaya. Menurutnya, wacana ini cenderung menjadi penolakan dalam kehidupan modern sekarang ini. “Orang sering bertanya apakah orang tua anak saya keturunan Tionghoa karena kulit mereka kuning dan matanya sipit,” ujarnya.
Lewat pengalaman pribadinya, Nindityo mengumbar lukisan-lukisan wajah asia dan beberapa karya abstrak. Dalam benaknya, ia heran, meski sudah tinggal di kota besar seperti Jakarta dan negara beragam suku seperti Indonesia, masih saja orang sering bertanya, “Kamu orang mana? Suku apa?”. Seolah tak cukup dengan jawaban kota asal lahir dan tempat menetap.
Bahkan, ia sempat berpikir, mungkin saja kakek buyutnya merupakan pendatang dari daratan Cina. Lalu Nindi mencurahkannya dalam sebuah karya Leluhurku Juga Pedagang dan lukisan tiga wajah perempuan peranakan berjudul My Youngest Sister Came Home.
Pada karya berjudul Napoleon Kompleks, tampak dua orang bermata sipit dengan pakaian tradisional Cina dan celana komprang (celana gombrang selutut). Yang satu bertopi orang Belanda era kolonial, satunya mengenakan peci. Keduanya menggembol buntelan di punggungnya. Ini seperti sebuah potret pedagang Tionghoa abad ke-19.
Lukisan ini tak begitu realistik, bahkan berlepotan cat pada bagian tertentu yang menyamarkannya. Judulnya pun terkesan sebagai stigma, cap, dan sindrom yang menjadi mitos yang diberikan oleh sekelompok orang di Eropa kepada yang bertubuh kecil dan pendek. Terkait dengan Napoleon Bonaparte, istilah ini mengandung trauma dan cara melihat yang stereotipe.
Aguslia Hidayah