TEMPO Interaktif, Jakarta - Suara soprano mengalun bening, diiringi denting piano yang mengalir lembut, memenuhi ruangan Usmar Ismail Hall, Gedung Pusat Perfilman Haji Usmar Ismail, Kuningan, Jakarta Selatan, Rabu malam pekan lalu. Sebuah komposisi berjudul Setitik Embun karya Mochtar Embut dilantunkan penyanyi seriosa Aning Katamsi sebagai pembuka pergelaran 25 tahun perjalanannya berkiprah di jalur musik klasik.
Bertajuk Benang Merah Cinta: 25 Tahun Aning Katamsi Berkarya, pergelaran ini merupakan penanda perjalanan karier Aning, yang kini berusia 41 tahun, selama seperempat abad di bidang seni vokal. Sesuai dengan tema cinta yang diusungnya, pentas malam itu juga merupakan bentuk sapaan cinta Aning kepada para penggemar, murid, guru, teman, dan keluarganya yang selalu mendukung langkahnya.
Malam itu Aning membawakan 15 komposisi yang semuanya bertema cinta. Konser dengan iringan pianis Levi Gunardi itu dibagi dalam dua bagian. Bagian pertama, Aning melantunkan tembang-tembang puitis (art song) karya sejumlah komponis kawakan, antara lain Franz Schubert, Robert Schumann, Johannes Brahms, dan Richard Strauss. Dan bagian kedua, ia menyanyikan aria dari beberapa opera karya Mozart, Bizet, dan Puccini. “Semua komposisi itu adalah lagu-lagu bertema cinta yang sangat saya sukai,” kata Aning.
Setelah membuka konser dengan Setitik Embun, Aning kemudian melantunkan tembang puitis karya Gluck: O Del Mio Dolce Ardor (Oh, Pujaanku Manis). Lagu ini berkisah tentang percintaan antara Paris dan Helen di tengah berkecamuknya Perang Troya. Alunan soprano Aning yang ditingkahi denting piano Levi begitu pas mewakili jeritan hati Paris yang mendambakan kehadiran Helen, yang telah melukisi kanvas hatinya dengan cinta nan menggelora.
Aning menutup konser bagian pertama dengan Cacilie, sebuah lagu puitis karya Richard Strauss. Tembang ini digubah oleh Strauss berdasarkan puisi karya Heinrich Hart bertajuk Cacile. Strauss menggubah komposisi ini sebagai hadiah pernikahannya dengan soprano terkenal Pauline de Ahna. Sebuah komposisi musik yang sungguh romantis dan mendapat sambutan begitu antusias dari para penonton.
Setelah sekitar 15 menit jeda istirahat, Aning kembali tampil ke atas pentas bersama Levi. Aning, yang pada penampilan bagian pertama mengenakan gaun merah, telah berganti dengan gaun ungu dipadu kain penutup berwarna kuning. Bagian kedua konser dibuka dengan petikan aria Batti, Batti, O Bel Masetto dari opera Don Giovani karya Mozart. Tembang yang berwarna ceria itu mengalir dalam tempo cukup cepat. Aning mempersembahkan lagu itu khusus untuk Catharina W. Leimena, seorang guru vokal yang telah begitu tulus membimbingnya.
Selain melantunkan karya Mozart, Aning kemudian berturut-turut membawakan petikan aria karya Alfredo Catalani, Bizet, dan Puccini. Satu yang cukup menarik adalah petikan aria Un Bel Di, Vedermo dari opera Madama Butterfly karya Puccini. Ini sebuah aria yang mengisahkan kepiluan nan mendalam Cio Cio San, seorang geisha yang mendambakan suami Amerikanya, Letnan Pinkerton, kembali ke Jepang. Lengkingan soprano liris Aning melukiskan kepiluan hati Cio Cio San yang tengah gundah menanti dalam kesia-siaan.
Begitulah. Pergelaran Benang Merah Cinta malam itu ditutup dengan lagu Indonesia Pusaka karya Ismail Marzuki. Menurut Aning, lagu ini merupakan ungkapan cintanya terhadap tanah air tempatnya berkiprah. “Ini sebagai ungkapan cinta saya akan tanah air Indonesia,” kata Aning seusai pentas.
Satu hal yang cukup istimewa dari konser 25 tahun perjalanan karier Aning adalah kematangan vokalnya. Boleh dibilang Aning sedang berada dalam kondisi suara terbaiknya. Penguasaan teknik pernapasannya bagus sekali, selalu disesuaikan dengan intensitas dan arus lagu yang dibawakan dengan tekun serta teliti dalam diksi yang cermat. Kontrol perimbangan antara register suara tinggi, tengah, dan rendah juga sangat baik.
Selain itu, Aning yang bersuara bening mampu menghadirkan drama saat membawakan sebuah lagu. Ia tidak sekadar menyanyi, tapi begitu meresapi jiwa lagu yang dinyanyikannya. Itu terbaca dari artikulasi, suara, ekspresi wajah, hingga penghayatan syairnya.
Sayangnya, pergelaran yang baik dan telah dipersiapkan Aning sejak awal 2010 itu tak mampu menyedot banyak penonton. Puluhan bangku di ruangan berkapasitas sekitar 400 orang itu masih tampak kosong. Para penonton yang datang pun sebagian di antaranya kerabat dan kenalan dekat Aning.
Meski begitu, Aning bergeming. Ia akan terus melangkah di jalur musik klasik yang telah 25 tahun digelutinya. “Konser ini bisa dibilang menjadi titik awal saya melangkah untuk sejumlah rencana ke depan yang akan saya garap,” ujarnya.
NURDIN KALIM