TEMPO Interaktif, Bandung -Harlan Boer seperti melayang bersama Lovesong. Mulutnya ikut bernyanyi ketika band Kamehame membawakan salah satu tembang agung milik kelompok The Cure itu di atas panggung. Begitupun saat lagu Letter to Elise mengalun. Puluhan penonton lainnya yang berdiri di depan panggung tak kuat lagi menahan diri hanya bernyanyi di dalam hati sambil menggoyangkan kaki.
Konser bertajuk Resurrection #2 di gedung kuno bekas bioskop Jalan Braga yang kini bernama New Majestic pada Ahad (25/7) lalu itu, membawa sekitar 350 orang meluncur ke masa silam. Sejak The Dre@mers membuka konser pukul 16.00 WIB, pemain band dan penontonnya yang sama-sama berusia kepala tiga itu menikmati lagu-lagu British Pop alias britpop yang pernah berjaya di era 1995-2001.
Tak heran jika sebagian band hanya tampil penuh sebagai cover version band-band Inggris seperti Blur, Oasis, The Cure, atau menyelipkan lagu milik Shed Seven. Seluruhnya ada selusin band yang tampil, seperti Dua Sejoli, Pocket Monster, The Bride, New Market, Peanuts, dan ETA. Mereka sebagian telah bubar, vakum, dan reuni kembali di acara tersebut.
"Band yang masih tetap cuma Parklife, Bangku Taman, dan Pure Saturday," kata koordinator acara Jimmy Muhammad di sela konser. Ketiganya mendapat jatah main di bagian akhir acara.
Dari obrolan dan kerinduan berkumpul setelah konser Resurrection pertama pada 2001 lalu di Bumi Sangkuriang, kata manajer band The Milo itu, gagasan reuni veteran band indie muncul. Belasan band yang dihubunginya langsung berminat dan antusias. "Ada yang kangen karena sudah 12 tahun tak lagi pegang gitar, ada juga yang sampai beli gitar baru saking semangatnya," ujarnya.
Di arena, sesama personel band itu saling sapa, berpelukan, dan bersalaman seperti kawan lama. Menurut Jimmy, walau berbeda band dan saling unjuk gigi, diantara mereka tak ada kompetisi. Suasana keakraban terasa hangat.
Soal bubarnya band-band tersebut, kata dia, bukan karena pertikaian melainkan pemainnya sibuk dengan pekerjaan di luar musik. Ada pula yang berpencar menjadi musisi band lain. "Dulu kuliah bikin band terus lulus sibuk kerja, ya mereka bubar jalan saja," ujarnya.
Vokalis band Kamehame Waliyul Mursidin atau Ijul, menampik kelompok mereka telah bubar. Walau seluruh personel sibuk bekerja dan terpencar di luar Bandung, mereka masih berusaha menelurkan album perdana. "Materi lagunya sudah ada, tinggal menyesuaikan dengan kondisi (musik) sekarang itu yang masih sulit," kata basis band Kamehame Deya Narotama.
Pengamat musik dan band indie di Bandung Achmad Marin mengatakan, band-band lokal era 90-an adalah para perintis band independen di Indonesia. "Waktu itu terkenal band indie 3 P, yaitu Pas Band, Puppen, dan Pure Saturday yang memang tergabung dalam satu komunitas," ujarnya. Adapun pengaruh kuat britpop pada penampilan di panggung dan warna musik ciptaan mereka, tak lepas dari invasi band-band Inggris ketika itu lewat tayangan MTV.
Di Bandung misalnya, musik britpop menjadi kendaraan band untuk melawan arus utama musik di Indonesia pada zamannya. Selain itu, mereka yang kerap main di pentas seni sekolah, kampus, dan klub, mengusung britpop untuk mengenalkan band dan mendapatkan label rekaman. Sebagian yang memilih cuma menjadi band cover version karena kurang percaya diri membawakan lagu-lagu ciptaannya. "Trendnya saat itu orang nggak bisa bikin album sendiri," kata Marin.
Kebuntuan digaet perusahaan rekaman besar itu coba dipecahkan dengan pembuatan album indie berjudul This is Bandung. Proyek tahun 1997 itu, ujar Marin, melibatkan 10 band seperti Electrof**k, The Bride, dan Charlie's Angels. "Spiritnya sudah ada untuk membuat dan meluncurkan album sendiri," katanya.
Namun karena jaringan distribution outlet (distro) sebagai penyalur album indie belum menjamur seperti sekarang dan perusahaan rekaman indie masih sedikit, band-band indie banyak yang rontok. "Hingga akhirnya mandek pada 1998-2000," katanya.
Selang sepuluh tahun atau sekitar 2005, band-band indie menggeliat kembali dengan semangat yang sama. Bahkan beberapa band seperti Pas dan Pure Saturday berhasil menggaet perhatian rekaman besar. Di jalur musik cadas, band Burgerkill juga bernasib sama. "Tapi anehnya, penjualan album mereka malah anjlok, karena perusahaan besar tak mengerti cara memasarkan album indie," katanya.
Kembali ke minor label, distribusi album-album band indie kembali mengandalkan jaringan lama. Internet makin memudahkan jaringan ke luar negeri, seperti negara-negara Asia Tenggara. Di Thailand atau Korea, misalnya, album band Moka bisa direkam ulang dan diedarkan oleh minor label di sana. Saat ini, kata Marin, Moka bisa dibilang sebagai band indie yang penjualan albumnya tertinggi di dunia, yaitu mencapai 250 ribu kopi. "Di luar negeri band indie paling cuma 500 kopi," katanya.
ANWAR SISWADI