TEMPO Interaktif, Jakarta - ambar yang ditayangkan itu horor tapi dingin: dua potong tangan, jari-jarinya setengah menggenggam, dan seluruh ujung jari hitam, bekas tercelup tinta.
Kedua potongan tangan itu milik pejuang revolusioner Kuba dan Bolivia, Ernesto "Che" Guevara. Setelah ia dieksekusi atas perintah Presiden Bolivia Rene Barrientos pada 9 Oktober 1967, tangan Guevara dilepas dari tubuhnya untuk diidentifikasi. Setelah sidik jarinya diambil, tangan itu dan mayat Guevara raib.
Kematian Guevara penuh misteri. Kedua telapak tangan Che yang terpisah, topeng kematiannya, dan mayat itu terus menjadi momok bagi beberapa petinggi pemerintahan, pesaing, dan bahkan para idealis di sekitar Guevara.
Raibnya potongan tangan Guevara itu mendorong sineas Belanda, Peter de Kock, membuat film dokumenter The Hands of Che Guevara dengan melakukan sebuah ekspedisi pencarian tangan sang gerilyawan. Film tersebut diputar di Erasmus Huis, Kuningan, Jakarta, Sabtu sore lalu.
Dalam sejarah perpolitikannya, Guevara terkenal sangat keras dan tak kenal kompromi. Sikap yang dianggap arogan oleh beberapa negara kapitalis itu memaksa Fidel Castro memberhentikan Guevara dari kabinet. Petualangan revolusioner Guevara pun berakhir di Bolivia, karena ia salah memperkirakan potensi negara ini, dan ia harus menanggung konsekuensinya. Ia pun tertangkap oleh tentara Bolivia pada 8 Oktober 1967, yang merupakan akhir dari segala dedikasinya. Guevara dijatuhi hukuman tembak, sehari setelah itu.
Dalam film ini, De Kock mencoba mengulik kebenaran tersembunyi dalam berbagai pemahaman yang dibangun dari kisah Guevara secara personal. Berawal dari momentum mengejutkan di Bolivia setelah 30 tahun kematiannya: tulang-belulang Guevara justru ditemukan di bawah landasan pendaratan pesawat di Vallegrande, Bolivia, dan bukan di dalam kuburannya. Kemudian, pada 12 Juli 1997, jenazahnya dikubur kembali dengan upacara kemiliteran di Santa Clara, di Provinsi Las Villas, tempat Guevara mengalami kemenangan dalam pertempuran ketika revolusi Kuba. Di tempat itu, dibangunlah monumen Che Guevara.
Penelusuran pun dijalankan lewat kamera. De Kock mengupasnya dari mulut jurnalis Victor Zannier, juru foto Rene Cadima dan Roberto Salas, serta seorang petugas museum Guevara, yang memperlihatkan beberapa benda milik sang pahlawan revolusioner.
Di sebuah tempat pencucian mayat tempo dulu, Rene Cadima berkisah. "Di sinilah jenazah Guevara ditaruh setelah dua hari ia dieksekusi, dijaga oleh sepuluh tentara karena takut dicuri," ujar fotografer yang kini duduk di kursi roda itu. Di situlah Cadema membidikkan kameranya pada wajah mayat Guevara, yang matanya masih terbuka.
Di Havana, Kuba, petugas museum memperlihatkan beberapa ciri fisik dan benda milik Guevara. Di antaranya Sierra Maestra, pipa cangkong yang digunakan Guevara untuk merokok, dan beberapa helai rambutnya yang disimpan dalam wadah bulat transparan.
Adapun Roberto Salas, yang pernah memotret Guevara pada 1971, mengaku pernah melihat kedua tangan yang terputus itu. "Tangan itu ada di Fidel Castro. Saya pernah diperlihatkan, namun tak bisa mendeskripsikannya," katanya.
Menurut Salas, rakyat Bolivia seakan tersayat-sayat bila mengingat tragisnya kematian sang pahlawan. "Sepertinya, rakyat tak ingin memperbincangkan ini dan tak setuju kalau kedua tangan itu dipertunjukkan," katanya.
Film dokumenter yang tegang ini mengeksplorasi perbatasan antara sejarah dan mitologi. Dan, ketika film berakhir, misteri itu masih tak terpecahkan: apa yang sebenarnya terjadi pada Che?
Sineas Asal Negeri Kincir Angin
Peter de Kock adalah sineas lulusan Akademi Film Belanda di Amsterdam, setelah ia belajar tentang desain audiovisual dan fotografi pada 1967. Setelah kelulusannya dengan hasil gemilang pada 1994, De Kock bekerja sebagai direktur fotografi di berbagai film dokumenter, film panjang, iklan, dan klip video. Selain sebagai sinematografer, De Kock menggarap film panjang pertamanya berbentuk dokumenter berjudul The Hands of Che Guevara.
Film dokumenter itu dibuatnya dengan jalan cerita yang linier, yang dikisahkan dari beberapa orang pertama sebagai saksi sejarah. Semua orang yang terlibat menceritakan bagian mereka dalam sejarah, masing-masing dari sudut pandang secara personal dan menampilkan diri sebagai karakter utama.
Setiap cerita dikemas De Kock dengan ragam warna. Dari romantisme dan pergolakan emosi pribadi hingga mampu menekan keberanian dari para narasumber. Kisah-kisah itu disampaikan dengan rasa hormat yang besar. Ada pula drama sejarah antara kepercayaan dan pengkhianatan, kebenaran dan realitas, serta trik dan kebohongan. Dengan merangkai bersama cerita-cerita kecil subyektif dari setiap saksi sejarah itu, film ini mencoba pelan-pelan memperlihatkan obyektivitas sejarah.
Aguslia Hidayah
Judul : The Hands of Che Guevara
Genre : Dokumentasi
Bahasa : Inggris
Sutradara : Peter de Kock