Kini, setelah hampir 50 tahun bekerja keras, kehidupan Darlun—seniman patung tradisional Bali berusia 62 tahun—belum bisa dibilang makmur. Ia tetap tinggal di rumah sederhana di sebuah gang sempit di Banjar Juga, Desa Mas, Gianyar, bersama keluarga besarnya. Hari-harinya dilewati dengan terus setia dan tekun membuat patung kayu dalam pelbagai gaya. “Saya tidak mau menjual ke art shop, takut diatur-atur,” kata seniman yang hanya mengenyam pendidikan hingga kelas IV Sekolah Rakyat ini. Toh, Darlun bangga karena karya-karyanya dimiliki sejumlah kolektor seni terkemuka, seperti Ciputra dan Lin Che Wei.
Karya-karya Darlun saat ini tengah dipamerkan di Museum Puri Lukisan, Ubud, Bali, dari 18 Mei hingga 18 Juli mendatang. Sebanyak 30-an karya yang disuguhkan mewakili perjalanan dan intensitasnya dalam berkarya. Sebuah wujud ketekunan Darlun menjaga patung tradisional Bali di tengah godaan mudahnya mencari uang dengan memenuhi selera art shop dan pasar seni, yang menjamur ketika pariwisata mulai booming di Pulau Dewata pada 1970-an.
Dalam pameran bertajuk “Tan Mantepi” yang digagas Yayasan Sarasvati itu, karya-karya Darlun tetap setia dengan teknik deformasi atau mengubah bentuk patung. Figur-figur berubah menjadi bentuk memanjang, bulat, atau abstrak. Sebuah teknik yang dipelajarinya ketika ia mulai belajar kepada seniman patung tradisional Bali terkemuka, Ida Bagus Tilem.
Deformasi memunculkan figur-figur patung itu menjadi unik, dinamik, dan kadang jenaka. Simak karya bertajuk Bersantai 1. Seorang pria tampak sedang duduk bersila dengan tubuh tertekuk, lalu ia menjulurkan kepala ke depan hingga menyentuh kaki. Posisi itu sungguh tak terbayangkan sebagai posisi ideal untuk bersantai melepas penat. “Imajinasi saya memang liar. Kalau sudah menekuni patung, sampai lupa makan dan tidur,” ujar Darlun, yang hanya menghasilkan satu patung dalam tiga bulan.
Imajinasi liar biasanya muncul ketika Darlun melihat bentuk kayu yang ditemukan atau disodorkan orang kepadanya. Angan-angannya lalu bergerak mencari ide dari khazanah cerita tradisional hingga cerita keseharian. Setelah terlebih dulu membuat sket sebagai pegangannya, ia mulai memahatkan cerita itu pada kayu. Darlun membiarkan ruang terbuka tanpa pahatan yang dipernis sangat halus. Menurut dia, ini salah satu teknik yang diwarisi dari gurunya, Ida Bagus Tilem. “Pahatan benar-benar diefektifkan hanya untuk memunculkan kesan kehidupan pada patung itu,” diamenjelaskan.
Darlun lahir di masa peralihan ketika patung tradisional Bali sedang bergeser, dari hanya sebagai bentuk seni yang erat kaitannya dengan agama Hindu ke seni sebagai barang yang dijual. Kedatangan seniman Eropa, seperti Walter Spies dan Rudolph Bonnet, membuat perubahan dalam perjalanan seni di Pulau Dewata, termasuk seni patung. Aktivitas kesenian tak lagi hanya dipakai untuk masalah keagamaan, tapi juga mulai dipakai sebagai tourist souvenir maupun sebagai barang hiasan dan koleksi hingga saat ini.
Perubahan itu kemudian melahirkan kelompok Pita Maha di Ubud pada 1936. Kelompok sebagai tempat para seniman mengasah karyanya itu didirikan untuk menjaga agar mutu patung tradisional Bali tak jatuh hanya menjadi suvenir. Gerakan seniman patung Bali itu terus bertahan hingga 1970-an, meski art shop, galeri, dan pasar seni mulai bermunculan.
Salah satu seniman yang sangat terkenal dengan karya berkualitasnya dalam kelompok Pita Maha adalah Ida Bagus Tilem, putra seniman patung terkemuka Ida Bagus Nyana. Di tempat itulah Darlun ikut pula mengasah talentanya dalam berkarya.
Boleh dibilang, pelajaran yang diperoleh Darlun sangat keras. Ia tak boleh langsung memahat kayu, apalagi dengan ide sendiri. Ia mula-mula hanya diminta menghaluskan karya yang sket dan pahatan awalnya dikerjakan Tilem. “Murid-muridnya banyak tetapi hanya sedikit yang bisa menguasai dan mewarisi ilmunya,” ujar Darlun. Setelah sekitar empat tahun, Darlun baru dibebaskan Tilem untuk langsung memahat kayu dan merancang patungnya sendiri.
Sayang, saat ini karya-karya berkualitas seperti milik Darlun tak dihargai sepadan dengan nilai seninya. Bahkan cenderung jatuh di bawah masa kejayaan Tilem. Para turis acap melihatnya setara dengan suvenir yang dijual murah di art shop.
“Faktor modal dan kecanggihan pemasaran lebih berperan dalam menentukan harga dibandingkan dengan kualitas seni itu sendiri,” kata Oei Hong Djien, seorang kolektor barang seni. Hong Djien berharap ada banyak pihak yang mau terlibat untuk mempromosikan patung-patung itu sebagai warisan berharga dari sebuah zaman di Bali.
ROFIQI HASAN