TEMPO Interaktif-Bantul - Sekuntum bunga Kamboja yang terselip di telinga pada patung kepala berbahan perunggu setinggi 62 cm itu seperti memberi identitas. Ia adalah sosok lelaki Bali. Identitas ke-Bali-an itu makin kental dengan kehadiran sejumlah anjing pada relung-relung leher yang menyangga kepala.
“Itu adalah jeritan hati saya yang sedang rindu kampung halaman,” kata I Made Arya Palguna, 34 tahun, tentang karya patungnya yang berjudul “Balinese Sound”. Patung ini pula yang kemudian menjadi master untuk pameran tunggalnya yang bertajuk Menggali Tulang di Tembi Contemporary Gallery, Bantul, 27 April hingga 18 Mei 2010.
Balinese Sound adalah ekspresi Palguna yang sedang rindu kampung halaman. Tak cukup menampilkan simbol bunga Kamboja, Palguna perlu menghadirkan sosok anjing untuk lebih menekankan suasana Bali. “Anjing adalah simbol suasana Bali. Sebagai anak rantau, rindu kampung halaman itu tetap saja muncul,” kata mantan mahasiswa Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta angkatan 1986 ini.
Balinese Sound sejatinya diilhami dari lukisan I Feel Bad With My Face karya Arya Palguna sendiri. Lukisan yang dibuat tahun 2003 lebih merupakan potret diri ketika sedang gundah. Sosok pada lukisan tahun 2003 itu kemudian “dipindahkan” menjadi karya tiga dimensi.
Proses pemindahan karya-karya dua dimensi ke dalam karya tiga dimensi inilah yang kemudian disebut Arya Palguna sebagai proses “Menggali Tulang” yang menjadi tajuk pameran tunggalnya di Tembi Contemporary Gallery ini. Dari 12 karya tiga dimensi yang dipajang di ruang pamer, semuanya terilhami dari karya dua dimensi.
“Semacam menggali spirit pribadi ketika sedang mengalami kemandegan. Saya berusaha mengkreasi kembali emosi-emosi karya lama. Kali ini dengan cara mengalihkan karya dua dimensi menjadi karya tiga dimensi,” jelasnya.
Memang, tidak semua karya lama dua dimensinya selalu menjadi ilham. Hanya karya-karya yang bertema kehangatan hubungan rumah-tanggalah yang menjadi inspirasi karya tiga dimensinya. Bahkan, satu lukisan bisa mengilhami terciptanya dua karya tiga dimensi seperti pada karya In The Father's Arms dan Sleep on His Shoulder berupa kehangatan hubungan antara anak dan ayahnya. “Ketika rumah sebagai tempat tinggal, anak-anak selalu memberi inspirasi bagi saya,” katanya.
Meski sebagian besar pameran Menggali Tulang ini berupa karya tiga dimensi, Arya Palguna tetap saja menghadirkan karya dua dimensinya. Dari 18 item materi pameran, enam diantaranya berupa karya dua dimensi. “Aku nggak ingin muncul kesan bahwa aku telah pindah haluan (dari dua dimensi menjadi tiga dimensi),” katanya.
Menurut kurator Rifky Effendi, kecenderungan mengkreasi karya lama –dari dua dimensi menjadi tiga dimensi-- lazim dilakukan oleh sejumlah perupa, sejak zaman Pablo Piccaso, Affandi hingga Agus Suwage. “Bagi mereka, melakukan hal ini bukan sekadar menyegarkan kembali sebuah gagasan lama, tetapi juga memberikan pengalaman berbeda ketika berhadapan dengan idiom-idiom baru,” tulisnya dalam katalog pameran.
Tema “Menggali Tulang”, lanjut Rifky Effendi, terilhami dari kebudayaan Batak yang disebut “Mengakoholi Tulang”, yakni proses menggali tulang leluhur untuk kemudian dibuatkan Simen, kuburan permanen dari beton yang dihias berbagai ukiran. “Palguna seolah membangunkan kembali nilai-nilai yang terpendam di masa lalu, memberikan daging dan darah segar pada sosok tubuh pada karyanya terdahulu, meniupkan ruh-ruh baru pada tubuh mereka,” tulisnya.
Heru CN