TEMPO Interaktif,
Jakarta - Berkaus oblong gelap bermotif saksofon-saksofon mini, dengan celana longgar berwarna senada, serta mengenakan sepatu kets, Riza Arshad hampir seperti orang kebanyakan, dan barangkali mereka yang tak mengenalnya bisa salah sangka. Tapi pria 47 tahun ini adalah musisi jazz yang menyimpan energi bagaikan baterei yang tak perlu diisi ulang: dia tak pernah letih melakukan apa saja demi jazz.
Selama ini boleh dibilang namanya identik dengan Simak Dialog. Dia pianis di kelompok jazz progresif yang didirikan pada 1993 itu. Yang justru sering luput dari penglihatan adalah kegiatannya yang lain yang sebagian besar tetap berkaitan dengan musik jazz. Misalnya menjadi kurator Serambi Jazz, program yang dua bulan sekali digelar di GoetheHaus, Jakarta. Atau mengelola studio rekaman dan menjadi produser. Kegiatan-kegiatan itu --lebih tak gemerlap dibandingkan dengan Simak Dialog yang juga jauh dari ingar-bingar industri musik --adalah bagian dari elemen yang memungkinkan fondasi kegiatan jazz di Indonesia tetap tegak. Lulusan Jurusan Desain Institut Teknologi Bandung yang menjadikan Jack Lesmana, I Wayan Sadra, Luluk Purwanto, dan Oele Pattiselanno sebagai role model ini menyebut kegiatan-kegiatan itu sebagai pergerakan.
Di antara kesibukannya mempersiapkan keberangkatan Simak Dialog ke Serawak (Simak Dialog diundang untuk meramaikan Miri International Jazz Festival, 14-15 Mei) dan aneka hal lainnya, Riza meluangkan waktu untuk menjawab sejumlah pertanyaan Tempo di Cafe Au Lait, Cikini, Jakarta Pusat, kemarin. Berikut ini petikannya.
Banyak sekali yang Anda lakukan berkaitan dengan jazz, di luar memainkan jazz itu sendiri. Apa tujuan semua itu?
Ini semacam pergerakan. Kita perlu ini. Kami, saya dan teman-teman yang lain, melakukannya melalui banyak media, termasuk di Twitter, Facebook, dan lain-lain. Sekarang kami sudah sampai pada pemikiran kalau bisa pergerakan ini malah arahnya ke regional. Ini bagian penting yang bisa mendukung apa yang sudah kami, generasi musisi jazz sekarang, lakukan dengan baik, yaitu punya karya.
Itu juga sebabnya, antara lain, Simak Dialog setuju memenuhi undangan ke Serawak?
Betul. Di samping itu, ke Serawak juga relatif terjangkau dari sisi biaya.
Apa sebenarnya ide di balik Serambi Jazz?
Sebenarnya itu merupakan cara saya untuk berbagi, untuk sesama musisi dan penggemar jazz. Secara ide, program itu kelanjutan dari Pasar Jazz, yang pernah rutin diadakan di Gedung Kesenian Jakarta. Saya juga kuratornya waktu itu.
Bagaimana ceritanya bisa ketemu dengan pihak Goethe Institut?
Karena Simak Dialog pernah main di sana, kami ditawari untuk rutin mengisi acara di sana. Saya mengusulkan program lain saja, semacam Pasar Jazz, karena bagi saya Simak Dialog atau saya sendiri sebaiknya tidak bermain di tempat yang sama berturut-turut. Alhamdulillah program dua bulanan yang menampilkan musisi-musisi berbakat itu berjalan, sekarang memasuki tahun kedua. Tadi saya baru rapat untuk membahas apa saja yang bisa dikerjakan untuk tahun depan.
Jauh juga waktu persiapannya.
Betul. Organisasi produksinya boleh dibilang rapi. Persiapan sudah dilakukan setahun sebelumnya.
Pasti besar minat untuk tampil di Serambi Jazz, ya?
Banyak sekali yang ingin main. Kami jelas butuh banyak talent baru. Tapi kami tetap harus memilih. Saya sendiri cenderung menonjolkan sisi-sisi yang unik. Misalnya Barry Likumahuwa. Kalau dia dengan band-nya, tentu orang sudah telanjur tahu. Akan menarik kalau dia tampil justru di luar band-nya. Selain itu, saya rencanakan ada nama besar yang tampil.
Bagaimana dengan musisi dari luar negeri?
Biasanya Goethe Institut yang mengusulkan. Tapi kriterianya adalah para musisi itu harus juga bersedia mengajar atau memberikan kelas, di samping konser. Jadi musisi kita bisa mengambil manfaat juga.
Apa rencana untuk Simak Dialog sendiri?
Kami masih ada dua jadwal konser, setelah Serawak. Selain itu, kami sedang mengumpulkan materi baru untuk album selanjutnya.
Secara musik, Simak Dialog sudah menemukan format di album Demi Masa. Tidak adakah kekhawatiran sesudah itu secara kreatif band akan membentur dinding?
Kemungkinan dari pertemuan antara kendang dan instrumen Barat [yang dominan dalam musik Simak Dialog] sangat banyak. Kami belum habis-habisan. Kami malah bingung, sebab kami ingin punya sistem sendiri. Untuk itu, panjang proses yang harus dijalani. Kalau diperhatikan sejak awal, kami merilis album setiap tiga tahun. Jadi, paling cepat, setelah Demi Masa, album berikutnya baru tahun depan.
Tanggapan positif terhadap Demi Masa di luar negeri datang dari mana-mana. Bukankah sudah waktunya untuk main di luar Asia atau Asia Tenggara?
Tentu itu menarik. Dan sebenarnya undangan banyak sekali, dari Eropa, juga Amerika. Tapi kami harus mencari sponsor. Saya kira memang kami harus mengusahakannya.
--Purwanto Setiadi