Itulah suasana menjelang Sabung Patana yang terekam kamera saku dengan komposisi cukup apik. Sabung ayam itu sendiri bukanlah acara iseng belaka atau ajang judi, melainkan cara tradisional masyarakat Dayak Tamambaloh, Kalimantan Barat, untuk menyelesaikan perselisihan. Ayam jago yang menang, menentukan pihak mana yang benar.
Puluhan foto lainnya tak kalah cerita. Foto berjudul Ritual Hari ke-9, misalnya, menangkap kegiatan sekumpulan lelaki suku Boti, Nusa Tenggara Timur, yang diadakan tiap 9 hari sekali untuk menghormati alam. Dengan ikat kepala dan kain tenun di badan, mereka duduk sambil membuat peralatan dari bahan alam, seperti mangkuk dari tempurung kelapa. Telinga mereka mendengarkan petuah Raja tentang cara-cara kuno menjaga lingkungan.
Banyak kisah dan pesan dalam pameran foto bertajuk Voices From the Archipelago di gedung perpustakaan Institut Teknologi Bandung, sepanjang 19-24 April itu. Sangat menarik, karena semua pemotretnya amatiran, dan sebagian besar malah baru berkenalan dengan kamera. Mereka adalah masyarakat suku adat, nelayan, warga kampung, ibu rumah tangga, anak-anak, juga karyawan, yang diajak lembaga swadaya masyarakat internasional Photovoices sebagai sukarelawan.
Lembaga swadaya masyarakat internasional itu ingin membangun daya kritis masyarakat Indonesia lewat fotografi. "Selama ini masyarakat masih ada yang kesulitan mengekspresikan diri lewat bahasa," kata Umi Kusumawati, staf data dan analisis informasi Photovoices di Bandung, akhir pekan lalu. Lewat media foto, komunikasi itu mereka jalin dengan bahasa gambar.
Kesulitan bahasa itu terbukti di Nusa Tenggara Timur. Saat memperkenalkan program tersebut pada suku Boti, tim sempat kebingungan. "Karena mereka hanya pakai bahasa suku mereka sendiri, tak bisa Bahasa Indonesia dan NTT," katanya.
Pada tahap pertama, program kerjasama WWF Indonesia, National Geographic, dan Ford Foundation itu melatih 15 orang suku Boti, 50 warga desa Lamalera, dan 70 penduduk suku Dayak Iban, Melayu, dan Tamambaloh di Kalimantan Barat. Pengenalan dasar kamera dan fotografi dilakukan serentak di setiap daerah. Setelah itu, setiap kelompok dipinjami kamera saku dan berburu gambar selama 6 bulan bersama pendamping.
Hasilnya, ada yang mencengangkan. Lihat foto close-up ular berwarna hijau dengan mulut menganga. Warga sekitar kawasan Taman Nasional Danau Sentarum, Kaimantan Barat, menamainya ular sagu. "Itu 1 dari 3 spesies ular paling berbahaya di dunia," ujar Umi. Butuh nyali besar untuk mendapat gambar sedekat itu, karena Suryadi, pemotretnya, hanya berbekal kamera saku.
Selain obyek-obyek menawan alam liar di sekitar tempat tinggalnya, mereka juga peka mengabadikan berbagai kejadian. Misalnya, dalam upacara ritual seperti pernikahan, tradisi bekumus menjelang musim tanam, dan berburu paus. Sebagian berhasil menyelipkan emosi dan menjalin keintiman dengan suasana peristiwa, hingga membuat kita seperti ada di sana menyaksikannya langsung.
Pengunjung pameran, Budiman mengatakan, banyak foto yang terlihat natural dan lebih jujur menangkap suasana. Terlepas dari segi teknis, seperti komposisi gambar, puluhan foto tersebut layak disebut karya. "Dibanding fotografer profesional, mereka lebih mengenal suasana dan dekat dengan obyek," kata fotografer dari Bandung itu.
Selain dipamerkan, beberapa foto itu juga menjadi dokumentasi penting bagi pemerintah daerah serta pengelola taman nasional. Diharapkan, kata Umi, foto-foto itu bisa menjadi bahan diskusi dalam kebijakan pembangunan pemerintah daerah terkait kondisi sosial masyarakatnya serta lingkungan.
Dari Bandung, pameran itu akan berlanjut ke UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, pada 26-30 April, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 4-7 Mei, Universitas Airlangga, Surabaya, Jawa Timur, 10-14 Mei, dan Universitas Muhammadiyah, Malang, Jawa Timur, 24-29 Mei.
ANWAR SISWADI