TEMPO.CO , Makassar: Batara Guru geram melihat perilaku masyarakat yang kacau. Tak ada lagi penghargaan, kedamaian, serta rasa aman. Semuanya bersikap seakan tak punya moral. Demi mengembalikan kondisi seperti semula, Sangiang Seri, putri Batara Guru, diutus turun ke bumi.
Bagian dari naskah teater berjudul Idatunna Sangiang Seri yang diadopsi dari sepotong naskah epos I La Galigo ini ditampilkan oleh Teater Titik Dua Unit Kegiatan Mahasiswa Seni Universitas Negeri Makassar, Sabtu malam lalu, di Gedung Lanto Daeng Pasewang UNM.
Pertunjukan teater berdurasi hampir satu jam ini menceritakan kondisi sosial masyarakat Bugis. Sangiang Seri dalam mitologi kuno dikenal sebagai Dewi Padi. Ia diutus oleh Batara Guru selama 7 hari untuk mendamaikan, membawa kesejahteraan, serta mengajarkan masyarakat untuk bersyukur atas apa yang dimiliki.
Di dalam peraduannya, di bumi, Sangiang Seri begitu kecewa menyaksikan perilaku masyarakat yang tak bersahaja. Ia banyak menyaksikan ketamakan, kemurkaan, serta perilaku-perilaku yang tidak sama dengan kondisi pada saat ia berada di langit. Ia juga begitu kesal lantaran kucing yang menemaninya begitu dibenci oleh masyarakat.
<!--more-->
“Kucing sial. Kucing bodoh. Kucing kurang ajar,” seru warga yang berang terhadap perilaku si kucing. Padahal kucing tersebut merupakan Meong Palo Karellae—karib Batara Guru yang juga diutus untuk mendampingi Sangiang Seri. Kucing ini merupakan hewan peliharaan kerajaan langit. “Filosofi kucing di Sulawesi Selatan itu sakral,” kata pimpinan produksi Idatunna Sangiang Seri, Ilman.
Perilaku penghuni bumi membuat Sangiang Seri tak terima. Belum sampai masa tugasnya habis, ia memutuskan untuk kembali ke langit. “Biarlah binasa orang di bumi asalkan saya tidak dikembalikan ke bumi,” gerutu Sangiang Seri, yang tak ingin melanjutkan misi perdamaiannya. Tindakan Sangiang Seri membuat Batara Guru marah. Batara Guru meminta putrinya menuntaskan misi kemanusiaan tersebut.
Tanpa menampakkan batang hidungnya, Batara Guru menjelaskan panjang-lebar kepada Sangiang Seri. Menurut Batara Guru, hanya Sangiang Seri yang mampu mengatasi masalah di bumi sehingga masyarakat bisa kembali akur, saling menghargai, serta menjunjung tinggi nilai-nilai kebudayaan adat Bugis lokal.
Setelah mendengarkan penjelasan Batara Guru, akhirnya Sangiang Seri kembali ke bumi untuk menularkan hal-hal positif. Masyarakat kembali memainkan ritual-ritual adat sebagai bentuk penghargaan atas wujud syukur atas hal yang mereka peroleh.
<!--more-->
Beberapa ritual ditampilkan di atas panggung, di antaranya mappalili, mappadendang, dan maggiri. Seluruh ritual diiringi tabuhan gendang, yang menegaskan nilai magis yang cukup kuat.
Menyaksikan kondisi sosial masyarakat kembali damai, aman, tenteram, dan sejahtera, Sangiang Seri berpesan, “Jika kalian mampu membatasi tindakan, nafsu, perkataan, maka Sangiang Seri akan mendatangkan hasil yang berlimpah ruah.”
Pementasan ini tidak banyak menggunakan dialog karena mengusung konsep eksperimental. Sutradara lebih banyak mengolah aktor-aktornya. Juga ada banyak permainan simbol di atas panggung. “Bambu itu disimbolkan sebagai senjata, seperti tombak, badik, dan senjata buruan lainnya,” ujar Ilman. Lalu ada penggunaan serangkaian bambu berbentuk bagan yang diartikan sebagai rumah, jalan, gunung, dan sebagainya sesuai dengan latar yang sedang dimainkan.
<!--more-->
Teater ini mengambil latar empat daerah yang ada di Sulawesi Selatan, yaitu Bone, Enrekang, Soppeng, dan Barru. Setiap segmen digambarkan berbeda, menceritakan kondisi sosial masyarakat masing-masing. “Di akhir cerita menampilkan bissu yang sedang memainkan badik sebagai ritual masyarakat Barru ketika telah memanen padi,” tutur Ilman.
Pementasan naskah kuno yang begitu kental dengan adat istiadat Bugis ini dibalut dengan nuansa kontemporer. Hal ini dipakai agar mudah dipahami oleh para penonton, kata Ilman, sehingga bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Kegiatan bertajuk Malam Apresiasi Teater Titik Dua Festival Teater Mahasiswa Nasional (Festamsio) ke-7 menuju Bandung ini tak hanya menampilkan pementasan teater. Ada pula penampilan tari empat etnis serta musikalisasi puisi berjudul Di Sepotong Malam karya Alfian.
SUTRISNO ZULKIFLI
Berita lain:
Pelindo II Siapkan Acara Pengumuman Kabinet Jokowi
Ryamizard: Tak Jadi Menteri Juga Tak Apa
Koalisi Prabowo 'Nggerundel' Soal Sikap PPP