Sosok gurita di karya tiga dimensi yang seluruhnya dicat warna merah menyala itu adalah gambaran sosok kolekdol (kolektor langsung didol -jual). Itu ditegaskan lewat satu tentakel yang menggenggam buku berjudul Art Now.
Cerita perang seniman dan kolekdol dalam karya berjudul Cirque du ARTopus itu menjadi satu kebaruan gagasan yang ditampilkan Andre. "Saya nggak mau dianggap sebagai orang gondrong yang lugu, diam, yang tak punya emosi hanya karena Gwen. Saya punya emosi, yang kadang frontal,” kata pengajar di Jurusan Seni Grafis Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta itu.
Gwen yang dimaksud Andre adalah sosok gadis dengan mata selalu tertutup, yang menjadi sentral dalam pamerannya sebelumnya bertajuk The Tales of Gwen Silent (2010). Gwen yang tanpa telinga dan mulut itu kini perannya diganti oleh Aghatos, seorang anak lelaki, tanpa indera mulut, namun telinganya panjang, bermata besar dengan tatapan tajam, yang selalu didampingi sosok naga.
Pada pameran yang menampilkan tak kurang 20 karya itu, baik karya dua dimensi dan tiga dimensinya, Andre tetap menampilkan dominasi kekuatan grafis,khususnya seni cukil. Seperti yang menjadi cirinya, di beberapa karya, Andre masih melakukan eksekusi tak hanya sekali pada proses kreatifnya.
Sebuah karya dua dimensi yang dituangkan dari cetakan cukil kayu, bisa diekspresikannya dalam media kanvas bahkan karya tiga dimensi hingga citraan yang diinginkan terwujud. Misalnya saja karya patung Cirque du ARTopus yang belakangan diketahuinya ‘sulit laku’ karena dinilai menyerang.
Andre terlebih dulu memulainya dengan sketsa pensil di atas kertas, lalu menuangkannya ke cukil kayu, namun masih tidak puas hingga akhirnya di eksekusi menjadi karya tiga dimensi. “Dengan cukilan kayu, kesannya jadi kontemplatif, pertarungan yang kolosal ngga dapat suasananya,” kata dia. Lalu pada karya Gwen in the Box, yang berkisah proses tranformasi pergantian peran si pendiam menjadi pemberontak, Andre memulainya langusng dari cukilan kayu yang difinalisasinya pada kanvas demi mendapat nuansa ‘haru’ karena cukilan kayu dirasa terlalu kaku, tanpa warna.
“Pemilihan warna yang lebih beragam, menghindari unsur soft, jadi salah satu fokus untuk menggambarkan Agathos yang pendendam, penuh marah, dan emosional,” kata dia.Andre pun dalam pameran ini tak hanya menampilkan hasil eksekusi akhir dalam karya yang sampai beberapa kali dieskeskuinya dalam berbagai medai itu. Seluruh proses turut ditampilkan sehingga publik bisa melihat perbedaan ciri yang dibawa tiap media. Misalnya pada karya Ready for War dan The Final Battle, prosesnya dari sketsa di atas kertas menjadi akrilik dan pensil di atas kanvas.
Andre pun tak melulu tak puas sehingga harus melakukan penyelsaian beberapa kali setalah sketsa di di atas kertas. Misalnya pada karya Pig in Trick. Karya yang hanya berhenti pada sketsa kertas itu bercerita soal seniman bak seorang badut yang harus selalu pasrah dan tersenyum karena lingkaran sekitarnya seperti dunia permainan ala sirkus.
Pada karya berjudul Smile and Angry, Andre langsung mengeksekusi bentuk si Agathos tengah membawa sekop dalam wujud tiga dimensi.Dengan eksplorasi ke berbagai media itu, Andre menilai ekspresi antagonis yang pernah dan sering masih hidup dalam dirinya yang tergambar dari sosok Agathos lebih mendapat ruang. Agathos sendiri merupakan inspirasi yang diperolehnya dari kegemarannya membaca serial komik macam Tiger Wong, Tapak Sakti, dan lainnya yang di tahun 90-an sangat popular.
Andre tak ingin patah-patah dalam membuatkan jalan cerita dari seri Agathos ini. Dirinya tak ingin meninggalkan begtu saja sosok Gwen yang pendiam. Dimulai dari Gwen yang terduduk seolah mendapat sasmita ketika seekor naga mengelilinginya (dalam karya The Omen), sebagai tanda mulai tergantikan perannya. Cerita itu di susul dengan serial grafis yang dituangkan dalam lima kanvas berturut tentang Agathos yang mulai marah yang digambarkan dengan naga yang keluar dari tubuhnya (Ready for War), kemudian berperang dengan gurita.
PRIBADI WICAKSONO.