Perupa Agung Kurniawan mempertanyakan memori kolektif itu. Dia menggunakan terali besi untuk menyimbolkan kekokohan memori yang dibangun foto itu. Pada saat yang sama, terali besi itu menampilkan bayangan di tembok sebagai garis-garis tipis yang membuat adegan penangkapan Saddam layaknya sekadar permainan cahaya. Apabila sudut-sudut pencahayaan atau warnanya diubah, bisa jadi memori itu pun akan semakin jauh dari faktanya. “Kenyataannya, setiap media memiliki agendanya sendiri untuk menanamkan suatu kenangan kepada publik,” kata Agung.
Karya itu kini dipamerkan di Kendra Gallery, Seminyak, Kuta, Bali, hingga 22 Mei mendatang. Selain karya tentang Saddam, dalam pameran tunggal bertajuk “The Lines that Remind Me of You” itu, Agung menampilkan puluhan karya lainnya. Seluruhnya mempersoalkan keberadaan memori sebagai medium yang menghubungkan seseorang dengan masa lalunya atau sebuah masyarakat dengan memori kolektifnya.
Selain terali, dalam pameran tunggalnya itu, seniman kelahiran Jember, Jawa Timur, 14 Maret 1968, itu juga bereksperimen dengan kertas, cat air, kanvas, hingga tembok kosong di ruangan galeri.
Bagi Agung, karya-karya itu merupakan rekonstruksi atas serpihan kenangan-kenangan yang terlewatkan. Bahkan, bila kenangan sudah diabadikan dalam sebuah foto, tetap saja akan ada yang hilang dan tak utuh. Begitulah yang ia rasakan saat melihat foto-foto keluarga, khususnya foto yang menampilkan kakaknya yang kini hilang tak ketahuan rimbanya. Padahal, sang kakak adalah anak laki-laki kebanggaan keluarga.
Agung melukiskannya dalam warna yang muram. Gambaran yang menyiratkan luka hati dan kerinduan, juga kepasrahan. Sisi lainnya adalah sebuah misteri dan pertanyaan, seperti apa wajahnya sekarang. “Itu adalah kisah nyata dalam keluarga kami,” ujar alumnus Institut Seni Indonesia Yogyakarta ini.
Permainan memori Agung juga meloncat ke masa ratusan tahun silam saat dia melakukan apropriasi atau pelukisan ulang sebuah karya, yakni karya pelukis pada 1480, Andreas Mantegna. Dalam lukisan berjudul The Lamentation of Dead Christ itu, Mantegna menggambarkan kematian Yesus sebagai kematian orang-orang biasa, yang mengabaikan kode-kode sakral. Agung mengganti wajah Yesus dengan wajah seorang seniman gendut untuk menyatakan sindiran bahwa seorang seniman besar pun bisa mati seperti orang biasa.
Di antara berbagai karya yang terkesan serius itu, Agung menampilkan permainan yang lebih sederhana dan ringan, yakni lukisan-lukisan cat air dengan objek sehari-hari. Ia membuatnya secara spontan tanpa tema yang dipersiapkan. ”Saya sekadar menuruti naluri untuk terus membuat benda-benda di atas kertas,” katanya.
Menurut Agung, cara itu merupakan suatu modus untuk melakukan relaksasi setelah sehari-harinya disibukkan oleh narasi serta sket sebelum mengeksekusi sebuah karya. Meski begitu, karya-karya spontannya itu tak kalah penting karena justru menunjukkan peta-peta tersembunyi tentang apa yang dia ingat dan apa yang dilupakan. Ia percaya memori manusia sejatinya selalu memiliki pola-pola yang tersimpan dan hanya bisa dikeluarkan bila diberi kebebasan seluas-luasnya.
Pameran tunggal Agung kali ini digelar setelah empat tahun dia menolak melakukannya. “Tahun ini akan ada tiga pameran tunggal saya,” ujarnya. Agung bersedia muncul kembali karena pihak galeri memberinya ruang untuk bereksperimen tanpa target tertentu. Adapun selama empat tahun itu, dia merasa telah melakukan hibernasi alias menyimpan energi untuk melakukan hal-hal yang baru pada masa mendatang.
Kurator pameran, Brigitta Isabella, menyatakan karya-karya terbaru Agung meneguhkan kecenderungan perubahan tematik Agung pascareformasi 1998, yakni karya yang lebih humanis dan universal dibandingkan dengan karya-karya kritis yang bercorak politis. “Mungkin karena dia sudah kehilangan lawan yang jelas. Sedangkan dunia politik makin kurang jelas,” katanya.
Menurut Brigitta, meski begitu, jejak kenyinyiran Agung masih gampang ditemukan, terutama ketika berbicara tentang dunia seni rupa yang menjadi tempatnya berpijak.
ROFIQI HASAN