TEMPO Interaktif, Bandung - Sebuah meja kayu terbalik di sudut ruangan. Puluhan batang spidol dan pensil warna berserakan di atasnya. Beragam coretan dan gambar aneka warna khas anak-anak menghiasi dinding putih di sekitar meja itu.
Di tengah ruangan, bergerombol 38 patung keramik kecil di atas meja seukuran satu meter persegi. Figur anak-anak yang bentuknya seperti tokoh kartun itu berdiri menghadap ke satu arah. Arsiran garis warna-warni kembali muncul untuk mempertegas bagian rambut, topi, pakaian, juga sepatu mereka.
Di Galeri s.14 yang berada di Jalan Sosiologi Nomor 14, Bandung, Endang Lestari menampilkan instalasi keramik berjudul Cerita dari Kolong Meja. Berlangsung sejak 10 April hingga 10 Mei ini, seniman keramik yang bermukim di Yogyakarta itu membuat 5 jenis karya untuk merangkai narasi ingatan masa kecilnya.
"Aku menemukan duniaku dalam kolong meja yang sempit," kata perempuan berusia 34 tahun itu yang akrab dipanggil Tari. Kolong meja menjadi tempat favoritnya untuk menggambar. Sedangkan ketika bercermin, ia menganggap bayangan dirinya sebagai teman imajiner yang suka diajaknya bercakap-cakap.
Tari menghabiskan masa kecil di Banda Aceh yang juga tanah kelahirannya. Gagasan membangun kembali kenangan dan sejarah masa lalunya itu tercetus saat melihat Layka. Bocah perempuan berusia 4,5 tahun, anak dari pasangan Aminudin TH Siregar dan Herra Pahlasari itu memikatnya saat bertamu ke Galeri s.14 setahun lalu.
Kesukaannya meremas kertas hingga seperti bola lalu dibuka kembali hingga tekstur kertas menjadi kasar, ditampilkan dengan media lain. Tari memakai bahan kulit sintetis berwarna perak abu-abu. Kain yang diatur agar berkerut dan ditempeli pernak-pernik seperti kawat dan potongan kecil keramik tipis itu kemudian ditempatkan dalam 5 bingkai.
Lulusan Fakultas Seni Rupa Instiut Seni Indonesia Yogyakarta itu juga membuat gambar yang berkaitan dengan mainan dan fantasi masa kecil. Sedangkan karya berupa pajangan botol-botol bening terkesan ganjil. Tari mengisi tiap botolnya dengan benih kacang merah yang sudah bertunas di atas kapas. Namun yang tumbuh dari gabus penyumbat mulut botolnya justru bunga mawar.
Botol-botol itu, menurut kurator Herra Pahlasari, seperti penampung doa, harapan, dan mimpi, lalu naik ke awan kapas yang digantung di tengah ruangan galeri. Hubungan dengan Tuhan itu lalu kembali masuk ke dalam botol. Bagi finalis Bandung Contemporary Art Award 2010-2011 itu, kadang hal sepele yang dilakukan saat masa kecilnya dulu, bisa menjadi luar biasa saat diingat kembali saat ini.