Orang-orang Stres "Berlomba" Naik Kuda Lumping

Reporter

Editor

Selasa, 28 Juli 2009 09:31 WIB

TEMPO/Arif Wibowo

TEMPO Interaktif, Jakarta - Tubuh belasan laki-laki itu tinggi besar dan tegap. Mereka berkulit gelap dengan otot tangan dan kaki yang liat, khas petani yang saban hari bergulat dengan panas, lumpur, dan cangkul.

Juga berambut panjang dan gimbal dengan kumis lebat melintang. Mereka berjalan gagah, meski kuda lumping dari anyaman bambu terselip di antara kedua paha mereka. Wajah mereka dirias garang dan seram.

Dalam Festival Lima Gunung VIII di Dusun Mantran Wetan, Magelang, Jawa Tengah, Minggu lalu, itu, mereka tampil mengentak. Bum! Bum! Bum! Bunyi gong, drum, dan seperangkat gamelan Jawa yang tak utuh berbunyi bergantian. Itu ditambah lagi dengan suara kaki-kaki para petani gunung Desa Sekayu dari lereng Gunung Merbabu, Magelang. Kaki-kaki mereka itu dientak-entakkan di tanah.

Gerakan kaki meloncat dan mengentak ke tanah terlihat ritmis dengan bunyi alat-alat musik perkusi. Ditambah bunyi lonceng-lonceng kecil yang terpasang pada pergelangan kaki, yang selalu gemerincing tiap kali kaki-kaki itu bergerak. Teriakan nyaring para penabuh gamelan yang mengiringi gerakan penari menambah ramai.

Atraksi kuda lumping serupa diketengahkan pasien-pasien Rumah Sakit Suraya Magelang (RSSM). Sedikit berbeda, para pasien gangguan penyakit jiwa itu menampilkan tarian kuda lumping dengan atraksi perang menggunakan pedang-pedangan. Bahkan sepasang penari saling mengadukan potongan bekas gagang sapu sebagai senjata mereka.

Wajah-wajah tanpa ekspresi itu terlihat berusaha memadukan gerakan dengan alunan musik yang mengiringi. Beberapa penari sempat lepas kendali karena melakukan gerakan tidak seperti diajarkan, sehingga membuat penonton tertawa lepas. Untunglah ada seorang pemegang pecut yang mengawasi dan bertugas meluruskan gerakan penari.

"Berkesenian bisa menghilangkan sedikit penyakit jiwa. Jadi rumah sakit jiwa bukan musuh seniman, tapi mitra," kata Prayit dari RSSM. Prayit yakin kesenian adalah terapi ampuh untuk penyembuhan penyakit jiwa secara komprehensif, sehingga perlu jalinan kemitraan antara rumah sakit jiwa dan seniman.

Tak hanya tarian kuda lumping berbagai versi yang ditampilkan dalam festival yang melibatkan seniman dari kawasan Gunung Merapi, Merbabu, Sumbing, Menoreh, dan Andong yang mengitari Magelang itu. Ada tari Seblak Kulub, yang menceritakan para bocah tengah berlatih perang dari Dayugo, Merbabu, serta Jazz Gladiator dari Gejayan, Merbabu, yang menggambarkan para petarung.

Tak ketinggalan atraksi ibu-ibu dalam Solah Kiprah dari Fatma Budaya dan Kipas Mega dari Gejayan. Malamnya, ada pula pertunjukan Teater Garasi Yogyakarta dan Komunitas Jajan Pasar, Surabaya. Puncak acara yang berlangsung di pengujung Minggu malam adalah wayang orang Samudera Mantana dari Tutup Ngisor, Merapi, dan ketoprak dari tuan rumah, yakni Dusun Mantran, Andong.

Mantran baru pertama kali dijadikan ajang Festival Lima Gunung. Suasana pun sederhana, seperti festival-festival serupa saban tahun sebelumnya. Tak ada panggung dan dekorasi background panggung, lazimnya sebuah pertunjukan bagi 16 kelompok penari yang tampil. Panggung tempat kaki-kaki mereka saling berentakan adalah tanah lapang di halaman rumah seorang warga dan beratapkan langit.

Latar panggungnya adalah hijaunya puncak Gunung Andong dengan pohon-pohon pinus yang berbanjar dan birunya Gunung Merbabu yang tersaput kabut siang itu. Satu-satunya panggung diperuntukkan bagi niyaga gamelan. Panggung itu terbuat dari bambu beratapkan kulit jagung kering alias klobot.

Ada pula satu tribun VVIP beralaskan tanah beratap klobot yang diperuntukkan bagi tamu khusus, yakni para seniman dari kota, mancanegara, berikut kepala desa, pimpinan pondok pesantren, juga kepala kecamatan.

Masyarakat sekitar sebagai penonton cukup berdiri menyaksikan dari tepian pelataran yang dijadikan arena atraksi. Ada pula yang naik ke atap rumah demi leluasa melihat atraksi di bawahnya. Bahkan jalanan yang menurun dijadikan warga laksana tribun berundak untuk menonton.

"Ciri khas kesenian masyarakat pedesaan adalah semangat dan kebersamaan," kata Sal Murgiyanto, Dosen Fakultas Seni Pertunjukan Institut Kesenian Jakarta, siang itu kepada Tempo. "Teknik gerak tidak penting bagi mereka, yang penting semangat dan kebersamaan," Sal menegaskan.

Properti dan kostum pun sederhana. Mereka bisa menggunakan ampas kelapa untuk membalut tubuh, seperti yang diperlihatkan bocah-bocah dari Krandegan, lereng Gunung Sumbing, dalam tari berjudul Karmapala. Ataupun rumbai-rumbai dari suwiran kertas putih yang menutupi ujung rambut hingga ujung kaki pemuda-pemuda Ngampel, lereng Gunung Merapi, yang menampilkan Gadung Melati.

Lagu-lagu pengiring nyanyian pun bernada riang, seperti Sluku-sluku Bathok, Caping Gunung, atau Perahu Layar. "Itulah wong ndeso. Mereka bukan seniman berambut gondrong pada umumnya, tapi masyarakat tani yang ingin tampil apa adanya," tutur Sutanto Mendut, yang dikenal sebagai presidennya Komunitas Lima Gunung.

PITO AGUSTIN RUDIANA


Berita terkait

David Beckham Pernah Touring dengan Motor Chopper ala Jokowi

20 Januari 2018

David Beckham Pernah Touring dengan Motor Chopper ala Jokowi

Beckham berjalan-jalan menggunakan Harley-Davidson klasik bergaya motor chopper seperti kepunyaan Jokowi.

Baca Selengkapnya

Setelah Teror Truk, Pelancong yang Masuk Amerika Makin Ribet

1 November 2017

Setelah Teror Truk, Pelancong yang Masuk Amerika Makin Ribet

Presiden Donald Trump mengatakan dia telah memerintahkan agar pemeriksaan terhadap pelancong asing yang masuk Amerika Serikat kian diperketat.

Baca Selengkapnya

Baru Jadian, Pasangan Ini Korban Kecelakaan Roller Coaster  

5 Juni 2015

Baru Jadian, Pasangan Ini Korban Kecelakaan Roller Coaster  

Dua remaja yang mengalami cedera paling parah akibat insiden roller coaster Alton Towers.

Baca Selengkapnya

Jumpa Saudara Asal Indonesia di Arequipa, Peru

7 Desember 2014

Jumpa Saudara Asal Indonesia di Arequipa, Peru

Kecantikan kota ini bertambah oleh hadirnya Basilica Catedral de Arequipa.

Baca Selengkapnya

Cuit Rem dan Perang Klakson di Lima, Peru

6 Desember 2014

Cuit Rem dan Perang Klakson di Lima, Peru

Ada cerita tentang seorang pejabat Kedutaan Besar Indonesia di Lima yang nyaris ditubruk mobil.

Baca Selengkapnya

Bocah 9 Tahun Berhasil Daki Gunung Aconcagua

28 Desember 2013

Bocah 9 Tahun Berhasil Daki Gunung Aconcagua

Telah lebih dari 100 orang meninggal saat berusaha menaklukan Aconcagua.

Baca Selengkapnya

Lima Tempat Indah Papua Nugini Layak Dikunjungi

16 Agustus 2013

Lima Tempat Indah Papua Nugini Layak Dikunjungi

Lima tempat wisata indah di Papua Nugini yang layak dikunjungi.

Baca Selengkapnya

Festival Seni Pertunjukan Internasional di Padang

16 Agustus 2013

Festival Seni Pertunjukan Internasional di Padang

Sumatera Barat sebagai daerah destinasi membutuhkan seni pertunjukan berlevel internasional.

Baca Selengkapnya

Festival Toraja Diundur

12 Agustus 2013

Festival Toraja Diundur

Festival Toraja akan digabungkan bersama kegiatan Lovely Desember.

Baca Selengkapnya

Ribuan Orang Kunjungi Balekambang  

11 Agustus 2013

Ribuan Orang Kunjungi Balekambang  

Libur Idhul Fitri dimanfaatkan sebagian masyarakat untuk mengunjungi tempat wisata, di antaranya Taman Balekambang, Solo.

Baca Selengkapnya