TEMPO Interaktif, Jakarta: Gelap. Bunyi logam jatuh di tanah. Lalu temaram cahaya merah menunjukkan seorang penari menebar uang koin dan kertas. Di sekelilingnya, dua penari lain duduk membungkuk, lalu bergerak maju-mundur perlahan, menimbulkan kesan mencekam.
Sinjang bercerita tentang para penari ronggeng yang setia bertahan dalam dunia seni yang mereka geluti. Koreografi ini diilhami buku Perempuan dan Ronggeng karya Endang Caturwati. Tari itu berlangsung sekitar setengah jam, mengisahkan para penari yang terhimpit dunia modern.
Koreografi kedua adalah Dua Kutub karya Hartati. Seperti judulnya, ia menampilkan dua unsur maskulin dan feminin dalam tari yang dibawakan dua penari muda perempuan, Anggi dan Nurhasanah. Maskulinitas dan femininitas ditampakkan sebagai pertentangan, juga sebagai dua kutub yang dinamis.
Kedua penari mengenakan pakaian yang diambil dari keranjang. Semua dilakukan perlahan, hingga akhirnya tampaklah mereka dalam jubah panjang pria. Kacamata hitam dipakai, lalu pedang kayu diayunkan dan dihunus. Bagai samurai, kedua penari bergerak cepat di sekeliling panggung. Hartati menggabungkan berbagai gerak tari modern dalam koreografi ini dicampur dengan unsur gerak bela diri.
Berlangsung 20 menit, tari berakhir dengan gedoran yang mengejutkan. Kedua penari bergegas kembali ke keranjang pakaian. Membuang maskulinitas dan kembali ke femininitas mereka.
Tari ketiga adalah karya koreografer Indra Zubir, Paradoks dan Bintang Pagi. Ini adalah dua koreografi yang memiliki hubungan dalam alurnya. Paradoks adalah bagian dari konflik, sementara tawaran solusi dimunculkan di koreografi Bintang Pagi. Keduanya berlangsung sekitar 20 menit.
Indra Zubir bersama penari Ratna Ully dan Rury Avianti bergerak cepat dalam Paradoks. Mereka, manusia modern yang sibuk berkomunikasi dengan telepon genggam, menunjukkan kisah masa kini. Permasalahan silih berganti, tumpuk-menumpuk tanpa pemecahan. Musik yang kejar-mengejar dan berubah-ubah mengiringi tanpa henti.
Semua itu menjadi tenang dalam Bintang Pagi. Dengan memandang bintang, muncul kedamaian yang menenangkan dan keyakinan akan adanya harapan. Koreografi kedua ini terinspirasi oleh puisi karya budayawan Goenawan Mohamad berjudul sama.
Tari terakhir adalah Sabana Grande karya Fitri Setyaningsih. Sabana Grande atau Lembah Besar bercerita tentang kehidupan di lembah besar. Empat putri tidur di atas selimut besar, bernyanyi dan saling berbisik. Burung-burung terbang.
Fitri menghadirkan elemen-elemen yang makin merumitkan. Ada baskom kaca berisi air, sapi kayu, hingga penari-penari yang muncul dengan kostum mirip per. Mereka meloncat-loncat seolah-olah kostum itu memiliki daya pegas.
Koreografi ini absurd dan sulit dimengerti. Tari ini hendak bercerita mengenai gerak perpindahan yang seakan-akan tidur. Gerakan itu menyatukan alam di luar tubuh dan tidur di dalam tubuh. Menurut seorang penarinya, Retno Sayekti Lawu, "Saya merasa pertunjukan ini seperti dibangun dari kesunyian, dan semakin sunyi."
Ibnu Rusydi