Kebebasan yang Terikat

Reporter

Editor

Rabu, 15 November 2006 14:06 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta:Bergulirnya paham neoliberalisme menumbuhkan harapan kebebasan di berbagai bidang. Kebebasan menjadi sebuah harta mahal bagi setiap individu untuk berbuat banyak. Entah itu berekspresi, bertindak, berkumpul, menyampaikan pendapat, atau bentuk kebebasan lainnya. Kendati begitu, kebebasan tak seindah kata bebas itu sendiri dalam paham neoliberalisme.Herry Priono, dosen dan Ketua Program Studi Pascasarjana STF Driyarkara, Jakarta, mengemukakan masalah tersebut dalam pidato kebudayaannya di Bentara Budaya, Jumat, pekan lalu. Dia acap kali memusatkan penelitiannya pada filsafat ekonomi, filsafat politik, ekonomi politik, teori ilmu sosial, globalisasi, dan kebijakan publik. Toh, tema kebudayaan baginya terasa berat dan luas. "Makanya, kata kebudayaan saya ganti menjadi kata sifat elusif kebebasan," katanya.Menurut Herry, kebebasan akan dikembalikan ke jantung neoliberalisme itu sendiri. Suatu tindakan disebut lebih bernilai dibanding tindakan lain, apabila tindakan itu menghasilkan laba lebih besar dalam idiom ekonomi. Jadi jenis kebebasan yang memiliki nilai tinggi adalah kebebasan yang menghasilkan daya beli tinggi dalam masyarakat. "Di sini proyek neoliberal menyempitkan bahkan meremukkan konsep kebebasan dengan menetapkan sebagai kebebasan berbisnis," katanya.Selanjutnya, kata dia, proyek normatif neoliberal berisi perentangan aplikasi prinsip pasar ke semua relasi kehidupan. Pola ini juga berlaku bila terjadi konflik. Sebagai misal, antara kebebasan modal dan kebebasan berkumpul, kebebasan pers, kebebasan berekspresi, serta kebebasan beragama. Kebebasan dalam neoliberal terperangkap dalam persyaratannya sendiri, yakni daya beli.Menurut Herry, ini terjadi bukan karena ada pasar, uang, dan laba sebagai konsep purba. Namun, proyek totalisasi prinsip pasar ke semua sudut kehidupan telah membawa konsekuensi, yakni akses pada kebebasan ditentukan oleh daya beli. Sihir metafisis kebebasan telah jatuh ke dalam gejala materialistis. Inilah yang menjadikan pilar utama neoliberal adalah kapitalisasi semua relasi. Semua ini berangkat dari alur sungai sejarah neoliberal itu sendiri. Pada 1930-an, untuk pertama kalinya, neoliberal muncul di Jerman. Ketika itu, Jerman mulai diburu hantu fasisme yang membawa suasana ganjil antara totalitarianisme dan kolektivisme. Para ahli ekonomi dan hukum dari Universitas Freiburg mulai mengembangkan gagasan ekonomi politik liberal. Gagasan mereka tersebar melalui jurnal Ordo, lantas terkenal sebagai mazhab Ordo Liberal atau Neoliberal. Benih awal ini memasukkan kritik dari gagasan sosialisme.Sekarang, tutur Herry, kata daya beli memang telah menjadi raja di negeri ini. Bagaimana bentuk karya seni di Bali yang telah mengikuti permintaan pasar adalah salah satu buktinya. Jika ada karya yang paling digemari turis, intensitas pembuatan bentuk seni seperti itu menjadi pilihan yang tinggi. Begitu juga dalam dunia lukisan. Gejala tersebut telah terjadi pada sekitar 1930-an. Ketika para wisatawan menggemari lukisan pemandangan, para pelukis berbondong-bondong melukis pemandangan. Tak luput juga dunia musik kita. Semua bergantung pada pasar yang memiliki daya beli tinggi. Seleksi penikmatan terhadap kebebasan oleh daya beli pun telah berlangsung.Andi Dewanto

Berita terkait

Jaga Persatuan, AHY Ajak Biasakan Ucapkan Terima Kasih dan Maaf

29 Juli 2017

Jaga Persatuan, AHY Ajak Biasakan Ucapkan Terima Kasih dan Maaf

Mantan calon gubernur DKI Jakarta, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) mengajak masyarakat membiasakan mengucap terima kasih dan maaf dalam beriteraksi.

Baca Selengkapnya

Deklarasi WCF 2016 Jadi Agenda Pembangunan Dunia

13 Oktober 2016

Deklarasi WCF 2016 Jadi Agenda Pembangunan Dunia

Sektaris Jenderal UNESCO, Irin Bokova, mengatakan simposium WCF harus dijadikan refleksi global.

Baca Selengkapnya

Pemerintah Kirim 50 Pegiat Budaya ke Selandia Baru  

12 Oktober 2016

Pemerintah Kirim 50 Pegiat Budaya ke Selandia Baru  

Wakil Rektor Auckland University of Technology, Professor Nigel Hemmington, berharap kerja sama tersebut terus berlanjut.

Baca Selengkapnya

Budayawan Tegur Jokowi Soal Infrastruktur Kebudayaan  

23 Agustus 2016

Budayawan Tegur Jokowi Soal Infrastruktur Kebudayaan  

Para budayawan menilai, Presiden Joko Widodo sudah lupa dengan program-program pembangunan kebudayaan.

Baca Selengkapnya

Beri Kuliah Umum di UI, Begini Nostalgia Sri Mulyani  

26 Juli 2016

Beri Kuliah Umum di UI, Begini Nostalgia Sri Mulyani  

Bekal ilmu dan pengetahuan di UI sangat membantunya memahami masalah dengan obyektif dan akurat.

Baca Selengkapnya

Sri Mulyani Beri Kuliah Umum Soal Pemuda di UI Siang Ini  

26 Juli 2016

Sri Mulyani Beri Kuliah Umum Soal Pemuda di UI Siang Ini  

Sri Mulyani akan memberikan kuliah umum di Universitas Indonesia siang ini.

Baca Selengkapnya

JJ Rizal: Orang Indonesia itu Tegas, Toleran, Setia Kawan

30 Desember 2015

JJ Rizal: Orang Indonesia itu Tegas, Toleran, Setia Kawan

Sejarawan JJ Rizal mengatakan saat ini Indonesia mengalami defisit "orang Indonesia"

Baca Selengkapnya

Gus Mus: Konsep Agama, Tuhan dan Indonesia Perlu Diteliti Ulang  

28 Agustus 2015

Gus Mus: Konsep Agama, Tuhan dan Indonesia Perlu Diteliti Ulang  

Gus Mus khawatir jangan-jangan pandangan orang-orang selama ini terhadap Tuhan dan agama itu ternyata keliru.

Baca Selengkapnya

Gus Mus: Anggota DPR dan Para Pimpinan Harus Jadi Manusia Dulu

28 Agustus 2015

Gus Mus: Anggota DPR dan Para Pimpinan Harus Jadi Manusia Dulu

Gus Mus mengatakan, ada orang yang menganggap manusia adalah yang seperti dirinya sendiri sehingga sama saja menganggap yang lain bukan manusia.

Baca Selengkapnya

Menistakan Pidato

27 Agustus 2015

Menistakan Pidato

Akhirnya mengaku, saya adalah pengarang yang diam-diam gemar "dipaksa" menerima order menulis pidato, sejak 1980-an.

Baca Selengkapnya