TEMPO Interaktif, Jakarta:Seto kesal. Ia melempar tas besarnya ke kursi. Ia merasa dipermainkan oleh penjaga loket karcis kereta api. Dengan alasan harus memenuhi ketentuan birokrasi, berbagai prosedur diberlakukan seperti mengambil kartu antrean. Padahal ia sedang terburu-buru karena kereta menuju Jawa telah tiba di stasiun itu."Tiga ribu enam ratus empat puluh," perlahan priayi Jawa itu mengeja angka yang tertera di kartu antreannya. Ia kaget bukan main. Matanya terbelalak tak percaya karena ia adalah satu-satunya calon penumpang yang antre di depan loket. Kontan saja ia protes.Tapi apa kata sang penjaga loket? "Memang Tuan saja yang antre. Ada ribuan calon penumpang lain yang juga antre di rumah. Jadi Tuan harus sabar menunggu sampai dipanggil," katanya. Seketika Seto melongo.Antrean calon penumpang kereta itu adalah adegan drama bertajuk Stasiun yang dipentaskan Teater Aristokrat di Graha Bhakti Budaya Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 29-30 Agustus 2006.Stasiun diadaptasi secara bebas dari Loket karya Jean Tardieu, penulis dan pegiat film terkenal asal Prancis. Loket adalah drama keluarga yang ditayangkan di televisi pada 1968. Jean sendiri meninggal pada awal 1995 dalam usia 91 tahun.Sutradara Bowo G.P. sedikit merombak naskah aslinya dengan mengedit dan membuang sejumlah dialog. Sebab, naskah Loket dinilai sulit dipahami oleh penonton era sekarang yang kebanyakan anak-anak muda. "Jujur, naskah aslinya mungkin lebih memusingkan," tuturnya. Pembicaraan, ia melanjutkan, meloncat dari satu hal ke hal lain, yang tak ada hubungannya sama sekali.Alhasil, Stasiun menjadi lebih berbentuk dibanding Loket, yang cenderung abstrak. "Tapi perubahan yang saya lakukan tidak merusak inti rahimnya," kata Bowo. Untuk lebih "mengindonesiakan" karya Tardieu, sutradara mewarnainya dengan nuansa Jawa, misalnya melalui dialek khas Jawa Seto.Tapi drama produksi ke-26 Teater Aristokrat ini memang tidak mudah dipahami. Menurut Bowo, secara umum Stasiun adalah cerita antara hidup dan mati. Tokoh-tokoh yang diperankan, seperti Seto, sang calon penumpang, dan si penjaga loket, sebenarnya satu kesatuan, tapi mereka dipisahkan menjadi dua obyek.Pertanyaan Seto kepada si penjaga loket, seperti "Apakah saya boleh berangkat naik kereta?", sebenarnya pertanyaan kepada dirinya sendiri. Jawaban penjaga loket, "Tuan mau ke mana? Tujuan Tuan ke mana?", juga pertanyaan Seto kepada dirinya sendiri tentang perjalanan hidup, keinginan, dan apa yang ingin dicapai. Filosofinya, kata Bowo, manusia harus bertanya kepada dirinya sendiri sebelum bertanya kepada orang lain.Seperti mengisahkan yaumul fathi (hari pengadilan) dalam hari kiamat, proses persidangan digelar untuk menentukan apakah Seto bisa melanjutkan perjalanan yang divisualkan dengan berangkat naik kereta api. Di sini si penjaga loket bertindak sebagai hakim, yang tidak lain adalah diri Seto sendiri. Maka penjaga loket tidak memberikan tiket begitu saja kepada calon penumpang.Angka 3.640 di kartu antrean Seto adalah nomor antrean di alam barzakh (alam kubur). Sutradara juga menambahkan angka 3.641 sebagai visualisasi bahwa ada calon penumpang lain yang antre menuju alam itu. "Intinya manusia akan mati satu per satu, sampai pada titik akhir," kata Bowo. Di sini pengontrolnya adalah penjaga loket yang menentukan tiket apa yang akan diberikan kepada calon penumpang: surga atau neraka.Tapi bukan berarti drama ini hendak menampilkan cerita agamis. Lebih dari itu, Stasiun ingin mengusung pesan moral untuk menyadarkan manusia bahwa suatu saat dia akan mati. Karena itu, harus ada introspeksi terhadap diri sendiri.RETNO SULISTYOWATI