Masked Monkey, Film Indie yang Laku di Luar Negeri
Editor
Kodrat setiawan
Minggu, 25 Januari 2015 08:59 WIB
TEMPO.CO, Makassar -Wajah masam menghiasi hari-hari Firman karena belum juga bisa menaklukkan seekor monyet yang diberi nama “Komeng”. Ia lalu mengadu ke bosnya—seorang ibu rumah tangga bernama Sarinah. “Gerobak dipatahin, uang lima ribu disobek,” kata Firman, yang menjadi dalang topeng monyet di Jakarta.
Kisah pemuda Firman dan monyetnya itu direkam dalam film dokumenter berjudul Masked Monkey karya sutradara Ismail Fahmi Lubish. Film yang diproduksi pada 2013 ini dipilih Rumah Ide Makassar dalam kegiatan Cinematica ScreenDocs, pemutaran film dan diskusi, di gedung BaKTI, Jumat lalu.
Masked Monkey, yang berdurasi 106 menit, memotret kehidupan masyarakat kelas bawah di ibu kota. Lewat filmnya itu, sang sutradara hendak menyuguhkan fakta pertunjukan rakyat berlatar permukiman kumuh, di balik gedung-gedung bertingkat dan jalan-jalan raya yang padat kendaraan.
Pertunjukan atau hiburan topeng monyet menyita porsi cukup panjang dalam film ini. Direkam di antaranya monyet ekor panjang yang silih berganti mengenakan topeng ataupun perangkat pertunjukan lain atas instruksi si dalang. Si monyet memakai topeng boneka, topeng penari, menarik gerobak, bermain gitar mini, dan menodongkan senjata kayu.
Semua dilakukan dengan iringan musik dangdut untuk mencuri perhatian anak-anak di sekitarnya. Tawa dan wajah takut penonton pertunjukan topeng monyet juga tak lepas dari sorot kamera sang sutradara.
Tak melulu di tengah permukiman penduduk, si monyet juga terlihat “dipaksa” berlaku tak wajar sebagai hewan di pinggir-pinggir jalan yang ramai. Satu adegan yang mampu memicu rasa iba adalah ketika si monyet muncul mengenakan helm dan menunggangi motor mainan. Dia seperti ingin tampak keren, tak mau kalah dengan pengendara sepeda motor yang ribut dengan klakson dan bunyi knalpotnya serta membuat macet lalu lintas. Si monyet ditarik ke sana-kemari demi perhatian yang berbuah lembaran-lembaran uang seribu atau dua ribuan rupiah.
Tapi monyet-monyet itu kebanyakan tak digubris. Para pengendara sepeda motor yang berwajah lelah pada senja itu sekadar menatap si monyet.
Adegan lain yang direkam dalam Masked Monkey adalah mungkin bagian yang tidak pernah disaksikan banyak penonton topeng monyet. Saat pulang, monyet-monyet ini dikurung dalam kandang kecil dengan rantai besi yang tak dilepas dari lehernya. Seperti tak kuasa menahan rasa sakit, seekor monyet tampak terus-terusan memegang ikatan itu.
<!--more-->
Saat beristirahat di teras rumah, Firman mengeluh kepada Bebek, rekan sesama dalang topeng monyet, yang juga anak buah Sarinah. Bebek terlihat lebih santai dan monyetnya, Temon, dianggap lebih bisa diajak “berkompromi”.
Temon tak seperti Komeng, bagi Firman. Pernah satu waktu dia harus “melatih” Komeng dari malam hingga subuh. Komeng seperti memberontak dan Firman menyerah. Di bawah tekanan ekonomi sekaligus tekanan dari bosnya, Firman lalu memilih meninggalkan Komeng. Firman menjadi penghibur keliling tanpa binatang. Dia mengandalkan dirinya sendiri dengan memakai topeng monyet.
Menurut Muhammad Al Amin, Kepala Departemen Advokasi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sulawesi Selatan, esensi dari film Masked Monkey adalah menggambarkan kemiskinan ganas dan persoalan ekonomi yang ada di Jakarta. Karena kemiskinan itu, hewan ikut dieksploitasi.
Dari aspek hukum, kata Amin, pemerintah sudah memberi batasan untuk tidak mengeksploitasi hewan. Apalagi satwa liar, seperti monyet Macaca fascicularis, dalam film itu yang disebutnya termasuk satwa yang seharusnya dilindungi. “Tempat mereka di hutan, alam liar. Bukan di kota dan dikurung.”
Peserta diskusi lainnya, Darmadi, dari Tanah Indie, mengatakan kejahatan terhadap binatang yang terbesar bukanlah yang dilakukan masyarakat kecil. Menurut dia, adalah tanggung jawab negara untuk menyiapkan lapangan pekerjaan. Menurut dia, Masked Monkey juga seakan menjelaskan, “Kita adalah monyet-monyet itu yang dikendalikan oleh pemilik modal (bos).”
Abel Jam, dari Rumah Ide Makassar, mengatakan Masked Monkey mendapat banyak penghargaan di luar negeri. Film itu, kata dia, mendapat tempat untuk diputar di Rotterdam International Film Festival 2014 dan Chopshots Documentary Film Festival 2014. “Banyak film dokumenter semacam ini yang di Indonesia malah tidak laku,” ucapnya.
REZKI ALVIONITASARI
Ini yang Dirasa Christopher Saat Tabrakan Maut
Menteri Tedjo Sebut KPK Ingkar Janji ke Jokowi
3 Firasat Bambang Widjojanto Sebelum Ditangkap