TEMPO.CO , Jakarta:Hujan pagi yang riuh. Suara bersahutan dari penghuni beberapa rumah nyaris memenuhi salah satu lorong di Jalan Paccerakkang, Makassar. Riuh, rasanya seperti menemukan gumpalan garam dalam telur dadar yang asin.
Perupa Ahmad Anzul menggambarkan suasana pagi dengan hujan garam, ada bibir merah yang tak mau diam, lalu ada telinga yang dipenuhi kebisingan. Lukisan seri Kampung Garam #32 yang berjudul Hujan Pagi 1 ini menggunakan kombinasi warna merah, kuning, dan hitam, serta garam yang berwarna putih.
Hujan Senja adalah judul lukisan seri Kampung Garam #35. Mengisahkan rasa kesepian saat usia mulai senja, anak-anak yang mulai tumbuh sibuk dengan aktivitasnya masing-masing yang disimbolkan dalam rupa ikan warna-warni. Senja yang sepi, hanya kursi dan ranjang kosong, teman berbincang. Bibir putih itu mengatup.
Lukisan berukuran 100 x 150 sentimeter ini pernah dipamerkan dalam Binne Makassar Art Exhibition pada 18-20 Agustus 2014. Juga pada acara Sastra Kepulauan VIII di Fort Rotterdam, 25-26 Oktober lalu.
<!--more-->
Masih dalam perhelatan Sastra Kepulauan, Hujan Senja II dipentaskan oleh Anzul. Karya instalasi ini didedikasikan untuk Asdar Muis R.M.S. (almarhum) yang meninggal dunia setelah menuntaskan pertunjukannya, Melukis Bayi Laut, di Fort Rotterdam, saat pergantian malam 27 Oktober.
Hujan garam dalam Hujan Senja II adalah seri Kampung Garam #39. Anzul, yang bercerita kepada Tempo, Senin lalu, di rumahnya, di Daya, Makassar, memulai pertunjukannya dengan menebar beberapa lembaran koran bekas, dibentuk seperti jembatan. Lalu ia berjalan meniti jembatan koran itu sambil menabur-naburkan garam ke muka dan kepalanya secara bergantian. Berjatuhan dan berceceran di koran. Garam itu bercampur huruf-huruf tentang Asdar. Juga ada perahu.
Anzul juga menumpahkan cat, katanya, ini simbol, kehadiran Asdar yang selalu memberi warna. “Tangan di atas katamu menjelang magrib/mengingatmu.../merangkai huruf, memberi angka/ mengingatmu.../laut, meja makan, dan tanjung/mengingatmu.../ikhlas, tulus/mengingatmu.../tangan di atas dan Al-Fatihah” demikianlah sepenggal bait puisi berjudul Tangan di Atas, seri Kampung Garam #38, yang ditulis Anzul, 6 November lalu.
<!--more-->
Adapun wujud lukisan berjudul Hujan Senja II berupa perahu dengan layar payung yang lekat dalam ruang kanvas, seolah menghalau hujan senja. Satu lagi perahu terdampar di bibir merah. Lukisan ini dipamerkan dalam Cross Border Makassar-Balikpapan, awal Desember lalu, di ruang pameran Anjungan Losari. Anzul tak hanya mengajak pengunjung bermain dalam bidang kanvas, tapi lukisannya ini juga dilengkapi karya instalasi.
Sepotong kain kafan dengan percikan tinta cumi, di atasnya perahu-perahu kertas tertempel. Selanjutnya, sepiring garam dengan huruf-huruf tersuguh di lantai yang beralaskan kain kafan. Kain kafan ini sempat dipakai Asdar saat pentas terakhirnya. Ada beberapa karya seri ini terinspirasi oleh Asdar, seperti Kampung Garam #9 berjudul Orang Besar dan Garam di Lidah. Kampung Garam, kata Anzul, ini bisa subyek, obyek, dan area.
Dalam seri Kampung Garam ini, kita bisa menemukan simbol-simbol bibir dalam lukisan. “Bibir itu simbol cerita,” kata Anzul saat ditemui di rumahnya yang sekaligus studionya itu.
Anzul memang banyak terinspirasi dari cerita kehidupan sehari-harinya dalam melahirkan karya Kampung Garam ini. Seperti dalam seri Kampung Garam #15 yang berjudul The Guard, berupa sosok janin yang dipagari garam agar tidak diganggu ular. Lukisan ini adalah simbol kehati-hatian, bagaimana ia menjaga istrinya agar tidak sampai keguguran lagi.
<!--more-->
Meski banyak melukiskan cerita, Anzul mengaku kadang ia melukis hal yang tidak rasional. Seperti dalam lukisan Mencari Berlian di Tumpukan Garam, seri Kampung Garam #22, yang merupakan kritiknya terhadap banyaknya pejabat di pemerintahan yang ditempatkan tak sesuai dengan keahliannya.
Dalam seri Kampung Garam ini, kata Anzul, yang mulai dikerjakan pada 2014, tercatat sudah ada 39 karya. “Awalnya ini menggambarkan tentang kemarahan dan emosional.” Ide ini ditemukan Anzul saat mobil yang ditumpangi bersama rombongannya tiba-tiba singgah di salah satu kampung penghasil garam di Kabupaten Jeneponto, “Saya merasakan damai, tenang, dan udara sejuk dalam cuaca panas.” Dalam perjalanan dari Selayar menuju Makassar itu, “Kampung Garam” seperti memenuhi benaknya.
IRMAWATI
Berita lain:
Budi Gunawan Tinggalkan Istana tanpa Senyum
Soal Kapolri, Jokowi Bicara dari Hati ke Hati
Bodi Air Asia Ketemu, Basarnas 'Tantang' Moeldoko