Makassar SEAscreen, Laboratorium Sinema Timur
Editor
Kodrat setiawan
Jumat, 17 Oktober 2014 03:51 WIB
TEMPO.CO , Jakarta: Rumah budaya Rumata’ kembali menghadirkan ruang-ruang interaksi antara pembuat dan peminat film dalam acara Makassar Southeast Asian Screen Academy (Makassar SEAscreen Academy) pada 22-26 Oktober mendatang.
Penggagas Makassar SEAscreen Academy, Riri Riza, mengatakan program pelatihan perfilman kali ini akan berfokus pada pengembangan budaya film, distribusi film, serta pelatihan teknis pembuatan film yang berfokus pada seni tata fotografi seluloid dan digital. Juga soal bekerja dengan benar di balik kontrasnya sinematografi, serta bagaimana bekerja dalam laboratorium pengembangan cerita dan produksi film.
Selama kelas berlangsung, peserta akan berinteraksi dengan pembuat film Asia Tenggara. Di antaranya Teng Mangansaka dari Filipina, Yuni Hadi dan Sanif Olek dari Singapura, serta Edwin dan Gunnar Nimpuno dari Indonesia.
Program beasiswa bagi pembuat film pemula Indonesia bagian timur ketiga ini diikuti oleh 12 orang. “Makin turun, kami makin selektif dan subyektif,” kata Riri, di Makassar, Selasa lalu. Pesertanya dari Nusa Tenggara Timur, Maluku, dan daerah-daerah di Sulawesi selain Makassar, yakni Luwu, Bulukumba, dan Maros. Tahun lalu ada 15 peserta, dan SEAscreen Academy sebelumnya 17 peserta.
<!--more-->
Dua belas peserta ini diseleksi dari 23 peserta yang mendaftar. Kata Riri, beberapa kriteria yang menjadi penilaian adalah sudah pernah terlibat dalam produksi film, ada karya, memiliki kaitan dengan komunitas film. “Karena kami berharap peserta ini bisa mengembangkan di komunitasnya.”
Riri yang juga Direktur Rumata’ Art Space Makassar mengatakan, para peserta akan diajak bekerja sungguhan, tidak sekadar membuat film, tapi juga bagaimana bersentuhan dengan bahan-bahan kimia dan drum-drum. “Tapi jangan membayangkan konsep laboratorium yang umum. Kami akan menciptakan suasana laboratorium yang berbeda.”
Kelas di Rumata’, di Jalan Bontonompo, juga akan memanfaatkan Rumah Galeri Firman Djamil, seniman art lingkungan di Benteng Somba Opu. Kawasan ini menjadi lokasi untuk membuat film bernuansa lokal.
Tak hanya berfokus pada kegiatan 12 peserta ini. Ada juga diskusi, workshop, dan pemutaran film, Ilo-ilo, penerima Award Winning Film dari Singapura, Sabtu, 25 Oktober, di Fort Rotterdam. Ada juga kelas workshop khusus yang terbatas bagi 20 orang untuk penulisan kritik film bersama Maqbul Mubarok.
<!--more-->
Pendiri Rumata’, Lily Yulianti, mengatakan tahun ini seluruh kelas akan digelar di Rumata. Selama kelas berlangsung, tiap malam akan diputar film.
Film adalah karya seni yang memancarkan budaya pembuatnya. Karya film adalah cerminan masyarakat. Menurut Riri, film seharusnya bisa tumbuh sehat dan seimbang di antara nilai populer dan kekayaan budaya yang dimiliki Indonesia bagian timur. Ruang lokal dan orang-orangnya akan menghadirkan gaya dan karakter yang khas.
Menurut Riri, film adalah media yang efektif untuk menyampaikan pesan. Hampir sepanjang sejarah negeri, film memiliki potensi besar sebagai ekspresi identitas budaya dan ekonomi kreatif.
Indonesia timur, kata Riri, memiliki semua potensi perfilman untuk dikembangkan. Memiliki ekspresi budaya yang kaya, pertumbuhan ekonomi dan konsumsi yang tinggi, serta lokasi-lokasi yang indah untuk pembuatan film. “Jadi, itu soal bagaimana lokalisasi timur kita representasikan.”
IRMAWATI
Berita lain:
Belasan Kepala Negara Akan Sambut Jokowi di Istana
Jokowi Hapus Pos Wamen, Ini Respons Denny Indrayana
Siapa Andika Perkasa, Komandan Paspampres Jokowi?