GKR Hayu dan KPH Notonegoro saling melempar sirih saat prosesi Panggih di Bangsal Kencono, kompleks Keraton Yogyakarta, Selasa (22/10). Prosesi Panggih yang mempertemukan kedua pengantin dan Pondongan yang memberi penghormatan kepada putri raja setelah diperistri oleh laki-laki dari kalangan rakyat biasa ini merupakan acara penting prosesi pernikahan agung GKR Hayu dan KPH Notonegoro dan akan diikuti oleh kirab pengantin besok Rabu (23/10). TEMPO/Suryo Wibowo
TEMPO.CO, Yogyakarta - Kerumunan penonton kirab kereta pernikahan putri keempat Sultan Hamengku Buwono X, Gusti Kanjeng Ratu Hayu, ternyata lebih rapi ketimbang saat kirab kereta pernikahan putri bungsu Sultan, GKR Bendara, pada 2011 lalu. Jumlah polisi yang bersiaga di tepi jalan lebih banyak ketimbang 2011 lalu.
Berdasarkan pantauan Tempo, kerumunan masyarakat yang berdiri di tepi jalan yang dilalui kirab 12 kereta keraton lebih tertata. Selain polisi yang mengenakan rompi warna hijau terang, pengamanan penonton juga dibantu kelompok Paksi Katon.
Mereka membuat pagar betis dengan berdiri di depan kerumuman penonton saat kereta lewat, sehingga masih ada jarak antara penonton dengan kereta. Selain itu, mobil patroli polisi juga di tempatkan di tengah jalan untuk membuka jalan. Dampaknya, 12 kereta yang kali pertama keluar dari Keben, Keraton Yogyakarta, sekitar pukul 09.00 WIB berakhir sekitar pukul 10.00 WIB.
Berbeda dengan kirab kereta dhaup ageng pada 2011, kerumunan masyarakat hingga memenuhi tengah jalan karena minimnya tenaga pengamanan. Bahkan sejumlah kendaraan roda empat dari arah alun-alun utara sempat dibiarkan melaju menuju Jalan Senopati atau Kantor Pos Besar sehingga sejalur dengan jalan yang dilalui kereta.
Akibatnya, kereta berjalan lambat dan beberapa kali berhenti karena terhambat kerumunan. Warga yang menonton pun susah bergerak di tempatnya berdiri.
Hanya saja, Kepala Kepolisian Daerah DIY Brigadir Jenderal Polisi Haka Astana menolak untuk membeberkan berapa jumlah personel polisi yang dikerahkan. Secukupnya,” kata Haka singkat.