TEMPO Interaktif, Jakarta - Usia pasangan itu belum 40 tahun, tapi mereka sudah punya 42 anak. Ahmad Fuadi, 39 tahun, dan Danya Dewanti mulai "beranak-pinak" sejak Januari 2011.
Setelah novel pertamanya, Negeri 5 Menara, meledak pada 2009, Fuadi bersama istrinya, yang akrab dipanggil Yayi, mengerucutkan ide untuk berbagi. Akhirnya bermuaralah pada pendidikan anak usia dini. "Sebab pembangunan karakter yang baik itu ada di masa golden age, masa prasekolah," katanya saat ditemui Tempo di kedai kopi Plaza Senayan, Jakarta, Senin lalu.
Mulailah Fuadi menyambangi kawasan slum di Bintaro, dekat kediamannya. Ternyata,di balik tembok-tembok tinggi di kawasan Bintaro Plaza banyak keluarga miskin yang tinggal berdempetan. "Mereka adalah supporting system Bintaro dari tukang bangunan, tukang bersih-bersih, hingga petugas keamanan," ujar bekas jurnalis Tempo ini.
Namun tak mudah mengajak orang miskin yang merasa terpinggirkan. Tawaran lelaki kelahiran Maninjau, Sumatera Barat, ini dicibir. Kebanyakan mereka tak percaya sekolah yang ditawarkannya cuma-cuma alias gratis. Apalagi pernah ada yang memanfaatkan warga miskin setempat dengan janji-janji sekolah gratis untuk urusan politik dan mengeruk dana dengan cara "menjual" kemiskinan mereka. Tapi, setelah berjalan, dan memang benar-benar tak dipungut biaya, sekolah itu malah kebanjiran murid. "Saya turun langsung ke rumah penduduk untuk mengecek apakah orang tua murid ini layak dapat sekolah gratis," ujar alumnus Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran itu.
Pembatasan dilakukan karena ternyata, setelah dibuka, jumlah peminat dengan kapasitas kelas tak seimbang. Ketemulah 27 murid untuk tahap pertama dan 15 murid tahap kedua untuk sekolah yang tepat berusia setahun pada Januari 2012 itu.
Bocah-bocah itu bisa belajar selama tiga hari setiap pekan pada pukul 08.00-10.30 WIB di bangunan berukuran 15x15 meter. Semuanya berstatus kontrak. "Yang isi istri saya. Dia kalau belanja di Asemka bisa semobil penuh," kata penerima beasiswa master di School of Media and Public Affairs George Washington University, Amerika Serikat, itu. Meski sarana-prasarananya terbatas, tak berarti kualitasnya juga terbatas.
Semua pengajar disekolahkan dulu di Indonesia Heritage Foundation untuk mendapatkan guru yang memahami pendidikan karakter. Komunitas Menara, begitu Fuadi menyebut kelompoknya, ingin membangun pendidikan dasar dengan pendidikan karakter sebagai landasan. Pilihannya kurikulum berbasis Beyond Centers and Circle Time. "Ini kurikulum yang mengajarkan permainan sambil belajar," kata penerima Anugerah Pembaca Indonesia 2010 itu.
Tak murah membuat sekolah murah tapi mutu sekelas sekolah mewah. Biaya pelatihan guru saja menghabiskan Rp 20 juta untuk dua orang. Semua biaya operasional saat ini masih diambil dari royalti buku-buku karya Fuadi. Komposisinya 80-90 persen dari royalti, sisanya dari donatur. "Ke depannya kami ingin profesional seperti Dompet Dhuafa," ujar dia.
Mengelola sekolah anak usia dini tak semudah yang dipikirkannya dulu. Perlu energi lebih untuk mengaturnya. Tapi semua energi, biaya, dan pikiran, menurut Fuadi, terbayar ketika melihat tawa para bocah. "Anak-anak yang dulu kutuan atau omongannya kasar kini bisa berubah. Itu luar biasa. Mereka adalah calon pemimpin bangsa," ucap Direktur lembaga swadaya masyarakat The Nature Conservancy ini.
Fuadi pun berharap model sekolah gratis untuk anak usia dini bisa direplikasi ke banyak daerah. Sebab tentunya akan banyak generasi yang karakternya bisa terselamatkan lebih dini. "Saya bahagia bisa berhasil mengikuti nasihat Pak Kiai menjadi orang yang bermanfaat," kata alumnus Pondok Pesantren Gontor, Jawa Timur, itu teringat pesan kiainya. "Sebaik-baik manusia adalah yang paling banyak bermanfaat bagi sesama. Itu pesan dari hampir semua ustad di sana," katanya mengenang.
AT/ DIANING SARI
Biodata:
Ahmad Fuadi
Lahir: Maninjau, Sumatera Barat, 30 Desember 1972
Istri: Danya Dewanti
Pendidikan:
Pondok Pesantren Darussalam, Gontor, Ponorogo, Jawa Timur; Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Padjadjaran, Bandung; School of Media and Public Affairs George Washington University, Amerika Serikat, (beasiswa Fulbright); Royal Holloway, University of London, Inggris (Chevening Awards)
Pengalaman kerja:
Jurnalis majalah Tempo, Voice of America; Direktur The Nature Conservancy
Buku:
Negeri 5 Menara
Ranah 3 Warna