TEMPO Interaktif, Denpasar -Sebuah keluarga dengan seorang ayah, ibu, anak, dan seekor anjing. Wajah dan pakaian yang mereka kenakan memiliki warna yang berbeda-beda. Ada biru, merah, hitam, dan hijau. Begitu juga motif-motif bunga yang menghiasi kainnya. Tapi sepintas sudah jelas, mereka mewakili sebuah keluarga di kawasan tropis dengan aneka tetumbuhan. Ranting dan dedaunan yang menjalar menjadi latar belakangnya.
Itu adalah lukisan karya Stephane Kenkle, satu dari lima seniman asal Pulau Reunion (Prancis), yang menggelar pameran bersama para pelukis Bali di Gaya Gallery, Ubud, 23-30 Juni 2011. “Ini adalah simbol keanekaragaman budaya pulau kami,” katanya. Empat seniman lainnya--Cristof Denmont (perupa), Charly Lesquelin (perupa), Jean-Marc Lacaze (video art), dan Richard Blancquart (pematung)--juga menampilkan semangat itu dalam karya-karya mereka.
Denmont, misalnya, menampilkan karya-karya abstrak figuratif dengan mengeksplorasi bentuk lingkaran. Bagi dia, bentuk itu bisa berupa benda-benda sederhana di sekitar kita, seperti alat-alat untuk menyajikan makanan, tapi bisa juga berupa kubah gunung berapi yang jauh dan menakutkan. “Juga air yang berkecipak ketika benda jatuh ke dalamnya,” katanya.
Namun bentuk-bentuk itu baginya hanyalah pintu untuk masuk ke sebuah dunia yang penuh impresi. Aneka warna yang bermetamorfosis di baliknya. Bahkan, bila dicermati, akan ditemukan pula bentuk-bentuk aneh yang berkarakter mistis dan spiritual, seperti simbol-simbol penyihir, setan, dan aneka mantra.
Karya yang berbeda ditampilkan Charly Lesquelin. Mantan pekerja periklanan ini membuat serial lukisan bergaya poster yang menampilkan perubahan budaya di pulaunya. Ia memperlihatkan pengaruh teknologi, di mana orang saling mengirimkan pesan lewat pesan pendek (SMS). Tulisan kemudian dibuat sekenanya dengan alasan kepraktisan. Lama-lama pesan-pesan menjadi semakin kacau dan jauh dari kejujuran. Lewat karya itu, dia menyindir kehidupan urban yang serba sibuk dan membuat orang kehilangan hati.
Bagi perupa Bali, Antonius Kho, yang menggagas acara itu, pameran bersama tersebut sangat bermanfaat karena mempertukarkan pengalaman berkesenian yang berbeda, meskipun secara sosial-budaya terdapat kesamaan yang mendasar antara Bali dan Reunion.
Kesamaan itu disimbolkan melalui pemilihan judul pameran ini, yakni “Tomorrow Maybe”, yang diambil dari kebiasaan sopir taksi mengucapkan kalimat tersebut kepada turis yang menolak tawaran untuk naik taksinya. “Kalimat itu menyiratkan ketidakpastian mengenai apa yang akan dilakukan di masa depan dan menjadi gaya hidup baik di sini maupun di Reunion,” kata Kho.
Proyek ini berawal ketika Kho bertemu dengan Cristof Denmont di Art Malaysia, Kuala Lumpur, pada 2008. Pertemuan itu berujung dengan kunjungan Denmont ke Bali tahun lalu. Pada awal Juni 2011, beberapa seniman Bali, yakni Antonius Kho, Made Somadita, Anak Agung Oka Agung, Made Kaek, dan Syahrizal Koto (patung), berpameran di Boudemoullin Art Space, Le Tampon, South of Reunion. Mereka pun melakukan banyak kegiatan, seperti menggelar workshop bersama seniman-seniman Reunion serta melakukan kunjungan ke studio-studio seni, galeri, dan museum. “Kami juga jalan-jalan mengelilingi pulau, yang cukup dijelajahi selama empat jam saja,” ujarnya.
Budaya Reunion terbentuk dari adukan tradisi Afrika, India, Cina, Eropa (khususnya Prancis), dan tradisi kepulauan. Orang Portugis dipercaya sebagai bangsa Eropa pertama yang menginjakkan kaki di Reunion, ketika pulau ini belum ada penghuninya, pada 1513.
Reunion kemudian diduduki orang Prancis dan menjadi salah satu daerah seberang lautan Republik Prancis. Sejak abad ke-17 sampai ke-19, pulau ini menjadi dapur percampuran etnis yang terjadi dari gelombang imigrasi warga Prancis dan arus masuk orang Afrika, Cina Melayu, dan India Malabar. Kelompok-kelompok etnis yang ada di Reunion mencakup orang-orang berdarah Eropa, Afrika, Malagasi, India, dan Cina serta berbagai etnis campuran. “Kami juga mengandalkan pariwisata, mirip Bali,” kata Lesquelin.
Dia kemudian memuji karya-karya seniman Bali yang berusaha menampilkan identitasnya sendiri dan tidak sekadar meniru maestro dunia. Menurut dia, langkah itu akan menghasilkan seniman besar yang berkarya dengan hatinya. Hal itu sangat mungkin terjadi dengan inspirasi dari keindahan alam dan kekayaan budaya Bali.
Dalam pameran itu, para seniman Bali menampilkan karya dengan ciri khas masing-masing. Antonius Kho, misalnya, memajang karya abstrak figuratifnya dengan mata-mata mengintip di balik kerumitan karyanya. Ada juga karya Made Kaek, yang mendekonstruksi aneka rupa manusia yang diolahnya kembali dalam aneka ekspresi. Sedangkan Made Somadita melukiskan sapi-sapi dalam gaya impresionis.
ROFIQI HASAN