Sederet kalimat keprihatinan itu terus mengalir dari mulut mereka ketika tanah yang kaya itu berubah menjadi lembaran-lembaran sertifikat dan dikuasai oleh orang-orang tamak. Ya, tanah mereka terampas dan kemudian para penguasa mengubah tanah itu menjadi gedung-gedung tinggi, pusat perbelanjaan, dan jalan tol.
Pelbagai sindiran akan penjualan tanah yang marak belakangan ini juga terlontar dalam pementasan teater berjudul Tanah di panggung terbuka Sanggar Baru, Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta Pusat, Jumat malam lalu. Pertunjukan teater yang dimainkan warga Ledeng, Bandung, Jawa Barat, itu adalah garapan sutradara Iman Soleh bersama aktivis Komunitas Celah Celah Langit (CCL).
Pementasan itu juga menyadarkan masyarakat akan dampak impian-impian semu, mereka harus rela kehilangan keindahan alam yang pernah mereka miliki. Tak ada lagi sawah yang hijau, sungai yang jernih, dan hewan-hewan yang selama ini menjadi sahabat. Semuanya berubah, tanah kelahiran berganti dan berpindah tangan menjadi milik orang lain. Makam nenek moyang pun hilang tak berbekas.Tak tersisa!
Boleh dibilang, pertunjukan teater malam itu cukup menarik. Para pemain tidak terpaku terhadap naskah. Dalam pementasan yang berlangsung sekitar 60 menit itu, setiap gerakan hingga dialog sering melibatkan penonton, semuanya mengalir, tak ada jarak. Semuanya menyatu,
Penataan panggung dibuat sedekat mungkin dengan penonton. Panggung dibuat sejajar dengan penonton. Hanya bambu dan batang padi yang diikat yang diatur mengelilingi panggung utama sebagai batas penonton dan pemain. “Saya memang sengaja tak membuat batasan dan jarak dengan penonton. Justru kami ingin membangun kedekatan sehingga kesan merakyat itu ada. Kami itu saudara,” kata sutradara, Iman Soleh.
Pementasan yang disiapkan sejak November tahun lalu itu merupakan hasil kerja tim. Dimulai dari riset tentang geoestetik, diskusi mengenai tanah, hingga bunyi-bunyi yang sesuai dengan ranah bumi. Bahkan untuk penggarapan naskahnya, Iman mengaku dirinya hanya bertindak sebagai editor. Semua naskah itu merupakan masukan dari para pemain. "Kami menulis bersama, menentukan gagasan, mendiskusikannya. Saya di sini duduk sebagai editor yang menyusun naskah pertunjukan saja," ujarnya menjelaskan.
Melalui pementasan ini, Iman berharap agar masyarakat bisa lebih menghargai tanah kelahirannya. Sebab, tutur Iman, dari tanahlah kita ada. Kitalah tanah itu. Menyakiti tanah berarti menyakiti diri sendiri, membahagiakan tanah membahagiakan diri sendiri, jangan jual tanahmu, menjual tanah menjual diri sendiri. Menjual tanah, menjual ibumu.
SURYANI IKA SARI