TEMPO Interaktif, Jakarta - Bertepatan dengan ulang tahunnya yang ke-22, Kelompok Teater Kami akan memanggungkan sebuah teks dramatik yang berjudul Gegirangan . Karya sutradara Harris Priadie Bah itu akan dipentaskan di Bentara Budaya Jakarta, 28 dan 29 April 2011 pukul 20.00 WIB. Pemanggungan ini menghadirkan para penafsir (pemain) Ribka Maulina Salibia, Piala Dewi Lolita, dan Roy Julian; penata musik Mogan Pasaribu; dan penata cahaya Aziz Dying.
Gegirangan bercerita tentang kehidupan dua pasang suami istri, Ribka dan Harris serta Piala dan Roy yang berprofesi sebagai pekerja teater dalam sebuah kelompok teater yang sama. Lewat pemanggungan ini, penonton disungguhkan sebuah “peristiwa teater” yang menarik tentang kehidupan nyata sehari-hari pekerja teater tersebut. “Tema ini kami ambil sebagai antitesa dari gegerungan--teks dramatik kami yang lain yang sudah kami pentaskan dua tahun yang lalu, yang menyoal sisi pahit dari dunia dalam pekerja teater yang penuh kesulitan hidup sehari-hari,” jelas sang sutradara.
Tema ini hadir menjadi semacam harapan bagi situasi kehidupan yang lebih baik bagi pekerja teater, suatu kondisi yang kami idealisasikan mewujud dalam hati dan pikiran setiap pekerja teater. Tema ini kami angkat sekaligus juga sebagai semacam perayaan dari kebertetapan kami yang memilih berkarya dalam dunia teater, dunia yang (di)jauh(kan) dari hiruk-pikuk kesibukan pemenuhan materi.
Harris menjelaskan pemanggungan kali ini tidak berbeda dengan pemanggungan Teater Kami sebelumnya yang mengambil bentuk dan pendekatan bahasa pengucapannya. Dengan bahasa yang lebih ideologis, bisa dikatakan kali ini pemanggungan kelompok teater yang didirikan pada Juli 1989 itu, semacam demonstrasi dari capaian kerja artistik mereka selama ini, yakni sebagai kelompok teater yang konsisten mengetengahkan sebuah bentuk teater yang imajinatif dengan narasi sehari-hari yang cair. “Yang sedikit berbeda barangkali terletak pada bagian-bagian pengadeganannya yang kini jauh lebih kaya dan beragam,” jelas Harris.
Dalam kerja pemanggungan ini, penonton akan dapat menyaksikan adegan yang pendekatan bahasanya sangat wajar dan sehari-hari, yang dalam ranah teater kontemporer disebut hiper realis. Sedemikian wajar dan sehari-harinya hingga bagi penonton yang terbiasa menonton teater dengan pendekatan teaterikal (penuh sensasi dramatis ketubuhan, sebagaimana juga pola yang telah menjadi ghalib dalam pemanggungan-pemanggungan Teater Kami) mungkin akan “tidur” sejenak.
Dialog-dialog yang diucapkan juga sangat sehari-hari. Misalnya, obrolan Piala dan Roy sebagai suami istri (mereka adalah suami istri dalam pemeranan dan kenyataan), canda Ribka pada Harris (yang juga pasangan suami istri dalam pemanggungan dan keseharian) adalah sebagaimana canda mereka sehari-hari pula. Sementara dalam bagian lain, adegan stilisasi yang khas tetap diberi porsi yang besar.
Demikian juga adegan yang menerjemahkan hubungan dengan Sang Maha, tetap diwujud-tampakan dengan takzim, ini barangkali juga menjadi semacam peneguhan dari istilah “teater urban religius” yang diberikan seorang pengamat terhadap bentuk pemanggungan Teater Kami. “Gegirangan merupakan kerja kreatif kami yang diproses dan dikerjakan dengan penuh kegembiraan, sebagaimana juga kerja-kerja kreatif kami terdahulu,” jelas Harris.
NUNUY NURHAYATI