Udara yang kuhirup kali pertama
kini entah di mana
kadang aku bayangkan ia kekasih
yang akan bersedih
bila aku tiada
Sepotong puisi itu dilantunkan penyanyi Nyak Ina Raseuki (Ubiet) ditingkahi denting piano Dian H.P. yang mengalir lembut. Permainan piano Dian seakan memberi aksentuasi pada lirik-lirik yang dinyanyikan suara bening Ubiet, sehingga penggalan puisi berjudul Cinta Pertama itu terdengar begitu berjiwa dan penuh daya nan menggetarkan.
Ubiet dan Dian--dua sahabat yang sejak dulu acap berkolaborasi--menyuguhkan musikalisasi puisi dalam pentas bertajuk Komposisi Delapan Cinta di Teater Salihara, Jakarta, Senin malam lalu, yang bertepatan dengan momentum Hari Kasih Sayang. Memang, secara tematik konser itu ingin mengajak para penonton memaknai momentum Hari Kasih Sayang tersebut secara lebih luas. “Cinta kasih terhadap sesama, alam, dan kecintaan pada seni,” kata Ubiet.
Pentas musikalisasi puisi itu sekaligus sebagai acara peluncuran album Ubiet-Dian yang berjudul sama dengan pentas itu: Komposisi Delapan Cinta. Album itu berisi delapan lagu yang diambil dari kumpulan puisi karya Nirwan Dewanto berjudul Buli-buli Lima Kaki dan karya Sitok Srengenge bertajuk On Nothing.
Karena itu, dari sepuluh tembang yang dilantunkan Ubiet dengan iringan piano Dian malam itu, delapan di antaranya diambil dari album Komposisi Delapan Cinta. Termasuk tembang Cinta Pertama, yang berkisah tentang sepasang kekasih yang tengah dimabuk asmara.
Secara keseluruhan, pentas musikalisasi puisi itu menyuguhkan komposisi lembut yang bertumpu pada kekuatan vokal Ubiet dan permainan piano Dian. Meski begitu, di beberapa tembang Ubiet-Dian tak hanya tampil berdua. Pada tembang Menulis Cinta karya Sitok, misalnya, Eugene Bounty masuk dengan alunan klarinetnya. Kehadiran klarinet yang mengalun lembut kian menambah liris tembang tersebut.
Lalu, pada lagu karya Sitok yang lain berjudul Kau Angin, Ubiet-Dian mendapat tambahan iringan selo dan flute. Di tengah lagu, Sitok tampil ke pentas membacakan puisi Kau Angin miliknya itu. Hal serupa juga dilakukan Nirwan ketika tembang karyanya berjudul Merah dilantunkan.
Komposisi yang agak berbeda adalah ketika Ubiet-Dian memainkan tembang Kuintet karya Nirwan. Ubiet tak hanya ditemani denting piano Dian, tapi juga permainan kontrabas (Doni Sundjoyo), biola (Eko Balung), selo (Krisnowo Adji), klarinet (Eugene Bounty), flute (Dony Koeswinarno), dan marimba (Adriansyah). Musik yang tersaji dalam Kuintet juga terdengar lebih riang.
Itu berbeda dengan komposisi pada tembang Air karya Nirwan. Dalam tembang ini, musik mengalir lembut dan lirik-lirik yang dilantunkan terdengar sendu. Tembang Air mengisahkan bencana dahsyat tsunami yang meluluhlantakkan sebagian besar bumi Aceh, yang juga merupakan kampung halaman Ubiet. “Lewat lagu ini, kami berusaha memahami alam,” ujar Ubiet.
Bagi Ubiet, menyanyikan karya-karya puisi itu sangat sulit. “Saya sulit menahan emosi untuk menjaga power vokal,” katanya.
Meski begitu, pentas musikalisasi puisi malam itu boleh dibilang sangat menarik. Lirik-lirik puisi yang dilantunkan Ubiet menjadi berjiwa dengan ramuan melodi yang disajikan Dian. Proyek kolaborasi ini merupakan buah perjalanan panjang persahabatan keduanya sejak sekitar 20 tahun silam.
Sebelum Komposisi Delapan Cinta, Ubiet-Dian juga sempat berkolaborasi dalam pementasan Keroncong Tenggara di Teater Salihara pada 2008. Dan pentas malam itu ditutup dengan menyuguhkan dua komposisi tembang yang diambil dari album Keroncong Tenggara.
AGUSLIA HIDAYAH