TEMPO Interaktif, Jakarta - Sabtu malam lalu, tiga personel band indie MEW--Jonas Bjerre, Bo Madsen, dan Silas Utke Graae Jorgensen--bertandang ke Surabaya, Jawa Timur, untuk pertama kalinya. Meski hanya berkeliling di seputaran hotel bintang lima tempat mereka menginap, Bo Madsen mengaku kagum akan kebersihan kota itu. Ia pun terkejut ketika Tempo memberitahunya bahwa kota yang mereka sambangi ini dikenal dengan Rock City. “Benarkah?” kata Madsen terheran.
Kunjungan trio yang membesarkan nama MEW itu ke Indonesia merupakan yang kedua kalinya. Setahun lalu, mereka datang menggebrak panggung perhelatan Java Rockinland di Jakarta dengan menyuguhkan musik beraliran alternative rock. Tapi genre tersebut bukan satu-satunya aliran musik yang mereka usung. Banyak penggemarnya yang menyebut musik MEW sebagai new prog, shoegaze, dream pop, art rock, bahkan rock eksperimental.
Band asal Denmark dan berbasis di Inggris itu boleh jadi belum familiar di banyak telinga di sini. Namun permainan gitar Madsen yang cukup memukau, ditambah warna vokal Bjerre yang melengking, menjadikan musik mereka berkarakter.
Malam itu, dengan bersetelan jas rapi, ketiganya siap beraksi di atas panggung besar perhelatan musik Soundburst di pantai Kenjeran, Surabaya. Saat itu pula Madsen terkejut dengan ribuan manusia yang memadati perhelatan musik rock itu. Sebanyak sekitar 50 ribu penonton riuh dan histeris menyambut aksi MEW.
Kondisi itu membuat para personel MEW terenyak. Madsen tak menyangka penontonnya akan sebanyak itu. Sehari sebelumnya, Madsen sempat pesimistis aksi mereka akan mendapat sambutan antusias di Surabaya. “Entahlah, penonton akan senang atau tidak, yang pasti saya akan bermain semaksimal mungkin,” ujarnya. Ia bahkan tak menyangka aliran musik indie yang diusungnya dari daratan Eropa itu justru akrab di telinga arek-arek Suroboyo.
Sebagai pembuka konser malam itu, MEW menggebrak dengan nomor bertajuk Special. Di latar panggung, gambar-gambar digital bernuansa pop art yang tampak di layar lebar membuat tontonan ini tak terkesan ala kadarnya. Dibuka dengan gebukan drum Silas Utke Graae Jorgensen, lalu musik mengalir dengan iringan lengkingan gitar Bo Madsen yang menyihir para penonton.
Setelah nomor pembuka, MEW kemudian membawakan sejumlah nomor lainnya, seperti Zookeeper’s Boy, Hawaii, Beach, Her Voice Long, dan Sometimes. Malam itu, sekitar 12 lagu dimainkan dengan mulus. Suasana tampak memanas ketika nomor Snowbrigade, Eight, dan Shelter Swanky mengalir deras. Vokalis Bjerre terus sibuk menyanyi. Ia tak lagi rajin menyapa para penonton seperti di awal-awal konser. Ia asyik dengan gaya menyanyinya yang boleh dibilang tidak menarik untuk dilihat--terpaku memegang mikrofon, tanpa banyak bergerak.
Dalam konsernya itu, MEW juga membawakan beberapa lagu dari album teranyar mereka, Eggs Are Funny. Mereka membawakan lagu unggulan di album terbaru mereka, yakni Do You Love It. Histeria penonton kian riuh menyambut lagu tersebut. MEW menutup konsernya dengan dua nomor sekaligus: She Spider dan Comporting Sound.
Boleh dibilang musik yang disuguhkan MEW sepanjang konser menghadirkan sensasi yang berbeda. Boleh jadi itu lantaran saking seringnya tempo musik yang mereka suguhkan berganti-ganti hanya dalam satu lagu. Tak mengherankan jika saban lagu mengalun di telinga, perasaan tak menentu mengocok-ngocok kita.
Sebagai band indie, MEW menjadi salah satu kelompok musik beraliran alternative rock yang mendapat sambutan baik dari para kritikus. Band yang berdiri pada 1994 ini juga meraih beberapa penghargaan bergengsi. Misalnya, pada Danish Music Critics 2003, MEW memenangi penghargaan Album of the Year dan Band of the Year. Penghargaan MTV Asia Buzz-Worthy juga disabet MEW pada 2006.
AGUSLIA HIDAYAH