Ariswan Adhitama, perupa muda berusia 28 tahun, menuangkan cerita sang robot dan tunas dalam karyanya berjudul Grow In Limitedness. Dicetak di atas kanvas berukuran 200 X 150 sentimeter, dia gunakan teknik hardboard cut, handcoloring dan stensil dalam karyanya.
Singkat kata, ada perpaduan dua ketrampilan dalam lukisan itu. “Grafis cukil kayu dan melukis,” kata dia, di sela pameran tunggal di gedung Bentara Budaya Yogyakarta, Sabtu (5/12) malam.
Bertajuk In Repair, ada sebelas karya Ariswan yang dipamerkan hingga 12 Desember. Masing-masing karya adalah manifestasi perjalanan hidupnya. Grow In Limitedness adalah cerita tentang kelahiran. Bayi tak berdaya di belantara jagad dunia fana.
“...aku hanya tunas kecil yang menggantungi sedikit bekal dalam potku...,” tulis dia dalam katalog pameran tentang karyanya itu. “Tapi kelak aku akan tumbuh besar.”
Janji itu dia tuangkan dalam lukisan berjudul My Transition yang berukuran 200 X 150 sentimeter. Sang kecambah “Ariswan” telah mekar dan menembus bola kaca hingga pecah. Namun lingkungan di sekitarnya tetap keras dan mengancam. Sesosok robot sangar dan angkuh masih mencengkeram bola kaca.
Kisah perjalanan hidup itu berlanjut. Diantaranya tertuang pada The Gardener, Horizontal Connection dan Natural Weapon, masing-masing berukuran 180 X 140 sentimeter.
Puncaknya, sebuah lukisan berjudul Green Convergence dibuat dengan ukuran ekstrim. Berukuran 195 X 700 sentimeter, lukisan itu bercerita tentang kepasrahan manusia dan kesadaran adanya “Ide Maha Agung”.
Dwi Marianto, pengajar di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta menilai dari aspek ukuran fisik, lukisan sepanjang 7 meter itu merupakan rekor baru. “Sebagai karya monoprint terbesar,” kata dia.
Meski terbilang muda dalam usia, Ariswan layak diperhitungkan. Ia, menurut Marianto, telah memperjuangkan karya monoprint berukuran besar dengan teknik campuran, yakni teknik mencukil kayu dan hand colouring.
Praktis, satu lukisan harus tercetak dua kali. Satu cukilan kayu yang berfungsi seperti klise film dan satu lainnya hasil cetakannya. “Jadi mirip cara kerja stempel,” kata Ariswan menjabarkan tekniknya.
Dengan teknik itu, penggarapan pun membutuhkan waktu lama. Dibutuhkan waktu 8 bulan untuk mencetak sebelas lukisan yang dia pamerkan.
Namun itulah Ariswan. Dia ciptakan karya sekaligus sistem pembuatan. Teknik monoprint, yakni teknik cetak sekali pakai menjamin karya menjadi utuh. Hanya satu dan satu-satunya.
Kurator pameran Fery Oktanio mengatakan ada imajinasi perlawanan dalam karya Ariswan. Manusia bukanlah makhluk yang mudah menyerah begitu saja saat takdir menggilasnya.
Lahir di Kulonprogo Yogyakarta 1982, Ariswan adalah angkatan 2005 di ISI Yogyakarta yang kuliahnya sempat tertunda 1 semester. Sebelumnya, masa SMA dilalui dengan berpindah-pindah sekolah hingga memperoleh ijazah melalui program penyetaraan paket C. Melalui karya-karyanya, dia seakan hendak katakan bahwa perlawanan dan kerja keras mampu menghasilkan hasil yang sepadan.
ANANG ZAKARIA