Aktris Ine Febriyanti Akan Mainkan Monolog Goenawan Mohamad

Reporter

Editor

Selasa, 9 November 2010 17:16 WIB

Ine Febriyanti. [TEMPO/Ramdani]
TEMPO Interaktif, Jakarta -

Singgah-singgah

Kala Singgah

Tan suminggah


Durga Kala

Advertising
Advertising

Sumingkir....



Tembang itu dilantunkan Ine Febriyanti seraya meraih canting, duduk di depan gawangan, membatik. Sudah tujuh tahun Ine tidak tampil dalam panggung teater. Kita ingat perempuan ini sebelumnya pernah terlibat pementasan-pementasan yang cukup berbobot.


Ia pernah menjadi pemeran utama memainkan karya August Strindberg: Miss Julie (1999), lalu karya Riantiarno, Opera Primadona (2000), dan ikut ambil bagian dalam kolaborasi bersama Teater Rin Ko Gun di Jepang (2001) menampilkan kisah pemburu ikan paus Lamalera: The Whalers of South Sea. Kemudian dalam arahan sutradara Eka D. Sitorus, ia menjadi protaganis utama Ekstremis (2003). Dan kini, setelah lama absen, seorang diri dengan disutradarai Sitok Srengenge ia bakal memainkan Surti, monolog karya Goenawan Mohammad, di Teater Salihara, Jakarta, 12-13 November ini.

Karakter tokoh dalam monolog ini berbeda jauh dengan peran-peran yang pernah dilakoni Ine. Dalam naskah-naskah sebelumnya, Ine tampil sebagai sosok seorang perempuan yang keras, binal, bahkan jalang. Kini ia menjadi Surti―seorang wanita Jawa biasa―seorang ibu rumah tangga, yang mengisi hari-harinya dengan membatik setelah suaminya, Jen, seorang aktivis pergerakan, mati dieksekusi Belanda karena dituduh seorang komunis.


Tapi, drama ini bukan drama realis biasa. Bahkan boleh dikatakan drama ini setengah surealis. Tingkat kesulitan monolog ini cukup tinggi karena isinya bergerak antara kenyataan sehari-hari dan imajinasi. Saat membatik dan mengenang detik-detik terakhir suaminya, Surti melihat tiga burung Sawunggaling yang digambarnya hidup dan terbang keluar dari kain batikannya. Dan menjelang dini hari, ketiga burung itu kembali masuk ke kain mori.


Dramaturgi monolog ini tak menyajikan konflik secara konvensional. Konflik terjadi saat bagaimana Surti berdialog, menerima informasi dari burung-burung imajinasinya itu setelah terbang malam. Dari mereka Surti mendapat cerita-cerita yang mendebarkan batinnya. Burung-burung itu ternyata menguntit suaminya sebelum sang suami mati, burung itu menyaksikan bagaimana anak buah suami Surti atas perintah Jen, sang suami menyerbu sebuah bivak Belanda, namun tiga di antaranya tewas. Salah satu burung itu juga melaporkan bahwa sang suami memiliki kekasih gelap, seorang pejuang, yang jauh lebih muda.

Tantangan Sitok Srengenge adalah bagaimana menghidupkan naskah yang berlapis-lapis ini. Bagaimana ia mampu menjadikan Ine Febriyanti memerankan lebih kurang 10 karakter yang berbeda. Pertama sebagai Surti sendiri, kemudian tiga karakter burung: Cawir, Anjani, dan Baira. Karakter kekasih gelap Jen. Lalu juga karaker laki-laki, antara lain, Jen, dan tokoh-tokoh lain yang semuanya berada dalam dunia antah berantah.


Ine harus mampu menampilkan lapis-lapis cerita ini secara mengalir. Maka dari itu, teknik cerita dan penghayatan Ine harus bagus. Salah penanganan penyutradaraan, Surti akan terlihat lebih sebagai seorang perempuan yang tak waras. Padahal bukan itu yang dimaksudkan naskah. Naskah ini ingin berkisah mengenai dunia batin perempuan Jawa yang terluka.

Selama sebulan lebih Sitok bersama asisten sutradara Seno Joko Suyono menggembleng Ine Febriyanti. Mereka membedah bagaimana monolog ini sesungguhnya berjalan dengan struktur penuh ulang alik waktu, antara dunia kongkrit dan dunia rekaan. Dalam proses semakin ditemukan bahwa alam khayali Surti dalam naskah Goenawan ini penuh dengan penglihatan akan kematian. Misalnya, saat dalam alam khayalnya Surti menceritakan bagaimana burung bernama Baira bagai Jatayu menabrak tiga ekor Mandar untuk menyelamatkan dirinya. Itu sesungguhnya sebuah tindakan heroik sang burung untuk mencegah agar dalam alam kenyataan Surti tidak ikut dibunuh tentara Belanda.

Untuk dramatika pemanggungan, Sitok menambah detail-detail kepada naskah. Tembang yang dilantunkan Surti di atas itu, misalnya, tak ada dalam naskah asli Goenawan. Tembang itu ditambahkan untuk menyajikan bagaimana pada suatu momen saat hendak membatik Surti tiba-tiba dilanda kesunyian yang amat sangat, ketakutan tanpa sebab yang berbaur firasat buruk. Sehingga ia meredam kecemasan dengan menembang.


Tambahan utama lain adalah pada unsur tari. Sitok meminta koreografer Hartati untuk membuat koreografi ketiga Sawunggaling itu. Hartati menciptakan gerakan-gerakan burung yang unik dan berbeda untuk Ine. Sitok juga menginginkan cahaya tak sekadar menjadi ilustrasi panggung tapi juga sebagai aktor. Maka penata cahaya Clink Sugiharto – memanfaat tiga warna Sawunggaling itu merah kembang sepatu, biru laut selatan, warna ungu – menjadi unsur-unsur cahaya yang dalam adegan bisa menjadi penanda dialog.


Bunyi-bunyian dan suara yang ditata komposer Jeffar Lumban Gaol juga diarahkan lebih alegoris. Suara ketiga Sawunggaling itu misalnya. Sawunggaling sesungguhnya makhluk mitologis yang tak ada referensinya. Maka dari itu Sitok meminta kepada Jeffar agar suara burung yang muncul adalah suara burung asosiatif bukan burung tertentu seperti Burung Gagak atau Burung hantu. “Ini suara burung entah,” kata Sitok.


Instrumen utama yang digunakan Jeffar adalah rebab. Tapi, alat musik gesek ini juga diperlakukan tidak biasa. Kita akan mendengar rebab ini digesek –bagai sebuah sayatan yang panjang tanpa putus makin tinggi makin mengiris muram. Sebuah bunyi yang berupaya menyelami dunia dalam―seorang perempuan yang merasakan kepedihan pembunuhan.


Tantangan yang lain adalah setting panggung. Sitok menginginkan panggung yang minimalis, tapi mampu mewakili dunia mistis, dunia gaib Surti. Maka Sitok memilih lantai, kursi semua berwarna serbaputih. Putih menurutnya mewakili ketakterbatasan imaji. Kedua, dengan bantuan arsitek Avianti Arman ia menginginkan latar panggung berupa cermin. Dalam naskah Goenawan, Sawunggaling adalah makhluk cermin. Segala wajah, kata-kata burung itu akan dipantulkan kembali. Dengan backdop berupa cermin ini, maka kita bisa melihat segala gerak-gerik Ine Febriyanti yang menjadi Surti seolah dipantulkan .


Setting juga menghadirkan keranda. Penonton bisa melihat ada keranda putih yang sepanjang pertunjukan seolah tergantung. Pada klimaks – setelah Surti bercerita panjang lebar tentang kematian suaminya ―dan agar menghalau tragedi lain yang bakal terjadi, ia harus menuntaskan membatik, memperbaiki sayap-sayap burungnya yang cacat, penonton akan melihat seorang laki-laki telanjang melintas di bawah keranda.


Seluruh tubuh laki-laki itu putih. Apakah itu arwah Jen? Silahkan Anda menonton.



KALIM/Pelbagai Sumber

Berita terkait

Sehari 4 Kali, Teater Bandoengmooi Gelar Pertunjukan Longser Kerajaan Tikus

16 Oktober 2023

Sehari 4 Kali, Teater Bandoengmooi Gelar Pertunjukan Longser Kerajaan Tikus

Pewarisan seni longser melalui pelatihan, residensi atau pemagangan, dan pertunjukan di ruang publik dilakukan setiap tahun.

Baca Selengkapnya

Minat Anak Muda Berkurang, Bandoengmooi Gelar Seni Longser Pahlawan Kesiangan

4 September 2023

Minat Anak Muda Berkurang, Bandoengmooi Gelar Seni Longser Pahlawan Kesiangan

Longser termasuk seni pertunjukan dalam daftar warisan budaya tak benda dari Jawa Barat.

Baca Selengkapnya

Marcella Zalianty Ungkap Perbedaan Menjadi Produser Teater dan Film

30 Agustus 2023

Marcella Zalianty Ungkap Perbedaan Menjadi Produser Teater dan Film

Marcella Zalianty saat ini sedang mempersiapkan pertunjukan teater kolosal

Baca Selengkapnya

Festival Teater Jakarta 2022, tak Sekadar Pertunjukan

4 Oktober 2022

Festival Teater Jakarta 2022, tak Sekadar Pertunjukan

Puncak apresiasi FTJ diniatkan sebagai etalase yang memperlihatkan capaian pembinaan teater Jakarta pada tahun berjalan.

Baca Selengkapnya

Indonesia Kita Kembali Hibur Masyarakat Jakarta sebagai Ibadah Kebudayaan

18 Juni 2022

Indonesia Kita Kembali Hibur Masyarakat Jakarta sebagai Ibadah Kebudayaan

Direktur Kreatif Indonesia Kita, Agus Noor berharap pertunjukan Indonesia Kita ke-36 ini bisa memulihkan situasi pertunjukan seni di Indonesia.

Baca Selengkapnya

Ngabuburit di Medan Sambil Nonton Teater Rumah Mata: Temukan Sahabat Sejatimu

15 April 2022

Ngabuburit di Medan Sambil Nonton Teater Rumah Mata: Temukan Sahabat Sejatimu

Teater Rumah Mata menggelar pertunjukan Shiraath untuk mengisi ngabuburit di sejumlah tempat di Kota Medan.

Baca Selengkapnya

Hari Teater Sedunia, Indonesia Punya Wayang Orang, Longser, Lenong dan Ketoprak

27 Maret 2021

Hari Teater Sedunia, Indonesia Punya Wayang Orang, Longser, Lenong dan Ketoprak

27 Maret menjadi Hari Teater Sedunia. Indonesia pun punya beragam pertunjukan teater rakyat seperti wayang orang, lenong, longser, hingga ketoprak.

Baca Selengkapnya

27 Maret Hari Teater Sedunia, 60 Tahun Sampaikan Pesan Perdamaian di Dunia

27 Maret 2021

27 Maret Hari Teater Sedunia, 60 Tahun Sampaikan Pesan Perdamaian di Dunia

Dulunya Teater merupakan hiburan paling populer di Yunani, pada 27 Maret, 60 tahun lalu Institut Teater Internasional menggagas Hari Teater Sedunia.

Baca Selengkapnya

Festival Teater Tubuh Dimeriahkan Belasan Penampil Secara Daring

18 Maret 2021

Festival Teater Tubuh Dimeriahkan Belasan Penampil Secara Daring

Festival Teater Tubuh berlangsung mulai Selasa sampai Sabtu, 16 - 20 Maret 2021. Festival ini merupakan silaturahmi tubuh kita dalam pandemi Covid-19.

Baca Selengkapnya

Akhir Pekan Ini Pertunjukan Teater Sie Jin Kwie Tayang di YouTube

3 Juli 2020

Akhir Pekan Ini Pertunjukan Teater Sie Jin Kwie Tayang di YouTube

Pementasan Sie Jin Kwie pada 2010 lalu di Graha Bhakti Budaya, Jakarta, kini bisa disaksikan kembali pada 4 - 5 Juli di kanal YouTube Indonesia Kaya.

Baca Selengkapnya