Makhluk-makhluk itu tak lain adalah ikan yang telah mengalami evolusi pasca kiamat dalam imajinasi perupa Rujiman, 35 tahun, pada pameran seni rupa bertajuk Journey di Galeri Biasa, Yogyakarta, 10-16 Oktober 2010. Selain Rujiman, pameran ini juga menggelar karya Judi “Bagong” Riswanto, Zuliyanto BG, dan Mintorogo. Mereka tegabung dalam Kelompok Tapak.
Rujiman, alumnus Sekolah Menengah Seni Rupa (SMSR) Yogyakarta tahun 1995, mengusung empat karya bergaya surealis yang semuanya menampilkan ikan sebagai subject matter. Sejak lama Rujiman selalu mengambil ikan sebagai subject matter lukisannya. Namun, belakangan ini ikan-ikan karya Rujiman telah mengalami evolusi.
Ikan mas koki yang aslinya lucu dan menggemaskan, kini berubah menjadi makhluk yang aneh dan menyeramkan. Kepalanya menjadi seperti naga, lalu ekornya berumbai-rumbai mirip ekor ayam jago. “Ini adalah makhluk-makhluk pasca-kiamat dalam bayangan saya,” katanya.
Dari enam lukisan “ikan pasca kiamat” karya Rujiman, empat di antaranya dipamerkan di Galeri Biasa. Sedangkan dua karya lainnya sudah berada di tangan kolektor pasca pameran di hotel Ritz Carlton Jakarta dan pameran di Korea, Agustus lalu.
Sementara itu perupa Mintorogo, 32 tahun, justru memilih monyet sebagai obyek lukisannya. Cara Mintorogo melukis monyet tergolong aneh, khususnya dalam hal pemilihan warna. Alumnus SMSR Yogyakarta tahun 1998 ini selalu mencoret-coret tubuh dan wajah monyetnya dengan warna biru dan merah. “Tidak ada maksud apa-apa. Itu hanya penopang artistik saja,” ujarnya.
Mintorogo tidak hanya melukis satu monyet. Ia bahkan melukis sepuluh monyet dengan berbagai gaya dan ekspresi pada karyanya yang berjudul Ten Monkey. Anehnya, jumlah monyet pada lukisan itu ada sebelas. Mintorogo ingin mengatakan bahwa dalam setiap komunitas, pasti lahir seorang pemimpin. Dan peminpin itu digambarkan Mintorogo sebagai monyet kecil bermahkota.
“Saya juga menampilkan monyet yang memegang granat. Artinya, dalam sebuah komunitas pasti akan muncul pengkhianat atau perusuh,” katanya menjelaskan.
Berbeda dengan Rujiman dan Mintorogo yang memilih satwa, perupa Zulianto, 29 tahun, justru mengambil kursi dan rumah sebagai subject matter lukisannya. Zulianto menyebut lukisannya bergaya naïf-simbolis.
Pada karyanya yang berjudul Blue Chair, misalnya, Zulianto menampilkan sebuah kursi berwarna biru di tengah kanvas. Kemudian, Zulianto menambahkan deretan huruf dan angka di sekitar kursi itu. Melalui karyanya ini, Zulianto mengekspresikan penilaiannya tengah kinerja pemerintah.
Kursi adalah simbol pemerintahan. Adapun deretan huruf dan angka adalah simbolisasi janji-janji. “Dalam pandangan saya, pemerintah saat ini gagal mensejahterakan rakyatnya. Pemerintah hanya terjebak pada janji-janji belaka,” kata alumnus SMSR Yogyakarta tahun 2000 ini.
Journey adalah pameran pertama Kelompok Tapak. Menurut kurator Yaksa Agus, pameran ini sebuah presentasi perjalanan mereka menyusuri jalan raya seni rupa. “Sebuah ekspedisi telah dimulai. Kita semua menjadi saksi perjalanan mereka,” tulis Yaksa Agus dalam katalog pameran.
HERU CN