Di bagian lain gedung milik UD Safari Soni, sebuah home industri yang khusus memproduksi batik di Desa Larangan Badung, Kecamatan Palengaan, Pamekasan, sekitar 10 pria bertelanjang dada tampak sibuk membuat batik cap.
Hanya dalam beberapa jam, puluhan lembar kain putih telah berubah menjadi lembaran batik nan elok dengan beragam corak dan gambar. Kecekatan mereka seolah tak terusik pengapnya ruangan yang dipenuhi asap. Sementara itu, dua pria lainnya mencelupkan lembar demi lembar batik ke dalam air di sebuah drum yang dipanasi api membara.
Pemandangan yang tampak pada pekan terakhir Septeber 2010 lalu, itu memperlihatkan industri batik di Madura, khususnya di Pamekasan kian menggeliat setelah Pulau Madura tersambung Pulau Jawa oleh Jembatan Surabaya-Madura (Suramadu), Juni 2008 lalu.
Warga setempat pun kian bersemangat menekuni pekerjaannya. Munawaroh, 25 tahun, salah seorang dari 20 wanita berjilbab yang telah setahun bekerja di UD Safari Soni, menyatakan kegembiraannya. Kerja kerasnya bersama rekan-rekannya membuahkan hasil. Batik produksi UD Safari semakin banyak peminatnya. Kehidupan mereka pun menjadi terjamin.
Setiap hari Munawaroh mampu menyelesaikan satu hingga tiga lembar batik tulis. "Tergantung motifnya. Kalau mudah, bisa rampungkan tiga lembar batik. Kalau sulit, ya, hanya satu lembar," tuturnya.
Hasil kerjanya membatik pada kain berukuran 119 x 170 centimeter, dan motifnya tidak terlampau rumit, Munawaroh mendapatkan upah Rp 5.000 per lembar batik. Sedangkan untuk motif yang rumit, Munawaroh mendapatkan upah Rp 10 ribu per lembar.
Adapun para pekerja batik cap, seperti Fauzan, 30 tahun, mendapatkan upah Rp 1.500 per lembar kain batik yang dirampungkannya. "Penghasilan per hari, ya, lumayan. Saya bisa mengerjakan 40 lembar," ujarrnya.
Dalam beberapa tahun terakhir, terutama setelah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mencanangkan tanggal 2 Oktober sebagai hari batik, kemasyhuran batik Madura mulai menyaingi batik daerah lainnya di Indonesia, termasuk batik Pekalongan, ataupun batik Solo yang sudah lebih dahulu tersohor.
Batik Madura pun memiliki keunikan tersendiri dengan tampilannya yang kerap disebut dengan nada yang berbau ejekan: norak. Didominasi warna cerah mencolok, seperti merah dan hitam, membedakannya dengan batik daerah lain. Para pemburu batik ‘norak’ Madura pun kian banyak.
UD Safari Soni milik Safari, 41 tahun, kini berkembang pesat. Setahun yang lalu, di rumahnya, Safari hanya dibantu empat sanak keluarganya. Saat itu hanya mampu menghasilkan 30 lembar kain batik per hari. Namun saat ini, dengan jumlah pekerjanya lebih dari 60 orang, Safari justeru kewalahan memenuhi permintaan para pelaggannya hingga mencapai seribu lembari per hari.
Untuk mendirikan UD Safari Soni, Safari bermodalkan dana Rp 30 juta. Sebanyak Rp 20 juta di antaranya berupa pinjaman dari Bank BRI. Sedankan Rp 10 juta hasil menjual tanah yang terpaksa dilakukannya karena pinjaman bank belum mencukupi. Namun, saat ini Safari sudah bisa meraup keuntungan bersih Rp 2.500.000 per hari. ”Seberapa pun hasilnya, saya wajib bersyukur,” ucapnya.
Safari membuka toko berukuran empat meter persegi yang menempel dengan rumah tinggalnya sebagai tempat memajang dan memasarkan batiknya. Dia juga menjual batiknya di sentra penjualan batik di Pasar 17 Agustus Pamekasan.
Keberadaan sentra batik di pasar ini kian terkenal sejak Pemerintah Kabupaten Pamekasan diri sebagai Kabupaten Batik, 24 Juni 2009. Saat itu, acara deklarasi ditandai dengan kegiatan membuat batik tulis di atas kain sepanjang 1.530 meter oleh 1.000 wanita pembatik.
Wakil Bupati Pamekasan Kadarisman Sastrodiwirjo mengakui, geliat batik di Pamekasan semakin terasa setelah beroperasinya Jembatan Suramadu. "Beroperasinya Jembatan Suramadu tentu ada sisi negatifnya, tapi saya yakin banyak sisi positif termasuk tumbuhnya batik di Pamekasan," kata Kadarisman. Saat ini, Kadarisman mengklaim telah ada sekitar 6.000 warganya yang mahir membuat batik tulis.
Pemerintah Kabupaten Pamekasan juga mulai merancang adanya kampung batik di daerah-daerah yang selama ini menjadi sentra pembuatan batik. Ide ini muncul karena tidak bisa hanya mengandalkan Pasar 17 Agustus yang masih merupakan pasar tradisional. Letaknya pun kurang strategis. Kondisinya pun kurang memadai karena bercampur dengan pasar hewan. Padahal industri batik akan mampu mendongkrak pendapatan asli daerah (PAD).
Batik di Pasar 17 Agustus lebih banyak dijajakan secara sederhana. Pedagangnya duduk lesehan sembari menggelar batik. Bahkan, banyak di antara penjual batik yang tidak bisa berbahasa Indonesia dengan lancar. Itu sebabnya mereka tidak mampu memasarkan batiknya setara batik daerah lain. Harganya berkisar antara Rp 40 ribu per lembar hingga yang termahal Rp 2 juta per lembar. ”Padahal dari sisi kwalitas dan keanekaragaman corak dan motifnya, harganya bisa lebih mahal,” kata Kadarisman.
Terus menggeliatnya industri batik, diyakni Kadarisman menjadi salah satu jalan mengentaskan kemiskinan. Di Kabupaten yang terkenal dengan Sapi Sonok (indah), dari 851.690 jiwa warganya, sebanyak 234.019 jiwa masih tergolong miskin.
Kepala Badan Penanaman Modal Jawa Timur Warno Harisasono optimistis keberadaan Jembatan Suramadu telah meyakinkan para investor untuk segera berinvestasi ke Madura. "Saya belum punya data pasti, tapi saya yakin investasi ke Madura akan terus meningkat," papar Warno.
Untuk tahap awal, investasi yang diprioritaskan di Madura adalah pada sektor usaha kerakyatan, termasuk di antaranya batik. Warno mengatakan Madura yang telah ditunjang pembangkit listrik dengan kapasitas 12,5 megawatt, telah siap dikembangkan. ROHMAN TAUFIQ.