----
Voltaire (1694-1778) selalu menuangkan gagasan-gagasannya dalam bentuk karya ilmiah, karya sastra dongeng-dongeng filosofis, dan surat-surat pribadi. Pada masa itu, Filsuf Prancis yang memiliki nama asli Francois Marie Arouet ini sampai memiliki 175 nama pena untuk menyamarkan jatidirinya.
Pada masa itu, yang disebut karya sastra adalah drama yang ditulis dalam bahasa indah bersajak. Adapun dongeng filosofi yang ditulis dalam bentuk prosa justru tidak dianggap karya sastra. Untuk menjaga gengsi tersebut, Voltaire menggunakan nama samaran.
Karya sastra dijadikan wadah untuk menyampaikan kritikan tajam tentang pemerintahan Prancis dan orang-orang Prancis pada masa itu. Pengarang selalu mencari setting tempat yang jauh, tokoh yang direkayasa agar pembaca terkecoh dan tak mencurigai tujuan sesungguhnya. Voltaire dengan sangat khas menerapkannya.
Banyak karya sastra dan filsafat yang telah dibuatnya. Seperti dongeng filosofis Zadig (1747), Candide (1759), L'Ingenu (1767) atau bentuk karya filsafat Essais sur les Moeurs (1756), Lettres Philosophiques (1734). Ada lagi satu drama berjudul Le Fanatisme ou Mahomet le Prophete (LFMP). Drama yang tak begitu terkenal tersebut bercerita tentang peristiwa kembalinya Nabi Muhammad ke Mekah pada tahun 630.
Pada 2005, drama ini ditampilkan di Saint Genis Poully dengan penjagaan polisi. Pertunjukan LFMP di abad 21, saat Islam sudah menjadi agama terbesar kedua di Prancis, menjadi anakronisme yang menimbulkan protes keras serta polemik berkepanjangan di dunia maya.
Tahun 1736, munculnya LFMP di Prancis yang masih sepenuhnya Katolik itu merupakan hal yang wajar saja. Penonjolan sisi negatif serta kritikan tentang Islam, yang pada masa itu belum begitu dikenal, adalah tema yang banyak dibahas pada karya sastra lain pada masa itu. Bahkan, dengan sangat cerdik dan nakal, Voltaire mengirimkan naskahnya kepada Paus Benoit XIV dan diterima dengan sangat baik bahkan pujian.
Lalu bagaimana cerita LFMP itu. Dalam kisah itu selain Mahomet le Prophete, tokoh terpenting lainnya adalah Zopire (salah satu pemimpin kaum Quraisy), Seide (Zaid), dan Palmire (gabungan dua istri Nabi yaitu Zainab, istri Zaid dan Habibah, putri Abu Sufyan). Penggabungan kedua perempuan itu tak lain agar lebih cocok dengan jalan cerita. Kisah tersebut penuh dengan imajinasi Voltaire dan pakem drama Prancis saat itu.
Seide, anak angkat Mahomet, diperintahnya untuk membunuh Zopire, kepala suku Mekah. Seide yang fanatik kepada ayah angkatnya kemudian pergi ke Mekah. Seide juga dijanjikan boleh menikahi Palmire, perempuan yang dicintainya. Zopire berhasil dibunuh. Pada menit terakhir Seide baru mengetahui bahwa Zopire sebetulnya adalah ayah kandungnya, Palmire adalah adik kandungnya dan kejahatan ayah angkatnya. Seide kemudian berniat untuk membunuh ayah angkatnya tetapi terlanjur meninggal karena diracun. Tinggallah Palmire yang harus menerima cinta sang ayah angkat itu. Namun Palmire bunuh diri. Tokoh utama merana kehilangan cinta sejatinya.
Pertunjukan drama di Paris pada 1742 itu hanya berlangsung 3 hari karena pejabat tinggi gereja ibu kota marah besar. Mereka dapat mencium dari gaya bahasa Voltaire yang sesungguhnya mengritik Gereja Katolik atas ketidakjujuran, kemunafikan dan fanatisme para pastor. Maka pertunjukan itu dilarang.
Tentang drama LFMP itu, Voltaire mengakui dalam catatannya. "Perbuatan yang saya lukiskan keji sekali. Dan saya tidak tahu apakah ada kejahatan yang lebih mengerikan dalam drama lain. Tokohnya adalah anak muda yang dilahirkan sebagai orang baik, lalu dirasuki fanatisme agama dan kemudian membunuh orang tua yang mencintainya. Dengan pikiran untuk mengabdi kepada Tuhan tanpa menyadari ia telah membunuh ayahnya sendiri. Yang memerintahkan pembunuhan itu adalah seorang penipu dan sebagai hadiahnya ia menjanjikan hubungan inses."
Terang saja, kisah ini membuat kaum Islam berang. Tetapi jalan cerita itu hanya imajinasi Voltaire. Mengenai kekejian itu Voltaire juga menulis kepada Raja Frederic II dari Prusia. "Mungkin saya akan dipersalahkan karena terlalu bersemangat. Dalam drama itu saya membuat Mahomet melakukan kejahatan yang sebetulnya tidak pernah dilakukannya. Saya tahu bahwa Mahomet tidak pernah melakukan jenis pengkhianatan yang merupakan tema tragedi itu."
Voltaire pada dasarnya membenci fanatisme agama serta orang yang beranggapan bahwa agamanyalah yang paling benar dan yang lain harus dibasmi. Karena pada zamannya, banyak peristiwa menyedihkan gara-gara fanatisme agama, seperti ayah membunuh anak atau dua saudara saling membunuh. Dalam sejarah Prancis pernah terjadi pembantaian penganut Protestan pada hari Saint Barthelemy, Agustus 1572, yang mengakibatkan 3 ribu orang tewas. Bahkan dalam suratnya kepada Frederic II ia menulis, "Kepercayaan membabi buta memecah persahabatan, merusak persaudaraan, menghantam orang baik-baik dengan tangan si gila yang kerasukan."
Lalu bagaimana pendapat Voltaire tentang Islam. Voltaire sangat terkesan oleh monoteisme Islam yang lebih dekat dengan ideal ketuhanannya. Ia, yang mengagung-agungkan toleransi beragama, lebih bersimpati lagi kepada Islam setelah mengamati Kesultanan Islam di Ottoman, Turki yang membiarkan berbagai penganut agama – Islam, Kristen, dan Yahudi – hidup berdampingan dan melaksanakan kegiatan agama dan politik masing-masing.
Voltaire juga mengagumi Nabi Muhammad yang merupakan satu-satunya pembentuk agama Islam sekaligus panglima perang dan penakluk yang berhasil menggerakkan kejeniusan bangsa Arab. Sebagai pembuat undang-undang Islam Nabi Muhammad merupakan orang yang berkuas, yang menyampaikan dogma-dogmanya dengan keberanian. Namun, agamanya penuh maaf dan toleran.
Tahun 1768-1772 adalah periode terakhir dalam studi Voltaire tentang Islam. Walaupun tetap menganut deisme, ia sering membela agama Islam yang menurutnya bijak, ketat, dan manusiawi.
ISMI WAHID