TEMPO Interaktif, Bandung--Pebi Imaulana Soleh langsung berlari dengan egrang ketika kibasan bendera diangkat. Empat rekannya pun melesat ke tempatnya masing-masing. Aldi Cahya dan Pahala Simamora bersiap menaiki rorodaan. Sedangkan Herdian menyiapkan gasing bambu di arena pangal. Nun di ujung lintasan lomba berjarak sekitar 100 meter itu, Galih Putra berkonsentrasi penuh untuk menjatuhkan gelas plastik dengan bedil jepret.
Dalam hitungan menit, para siswa Sekolah dasar dan Sekolah Menengah Pertama asal Kabupaten Sukabumi itu akhirnya mempecundangi tim asal Kabupaten Ciamis di babak final. Mereka keluar sebagai juara pertama Alimpaido tahun ini. Pesta permainan rakyat yang digelar semarak di pelataran Monumen Perjuangan Rakyat Jawa Barat, Jalan Dipati Ukur, Bandung, itu berlangsung 7-8 Agustus.
Peserta tahun ini tak hanya berdatangan dari 26 kota dan kabupaten di Jawa Barat, tapi juga diikuti mahasiswa asal Papua, Bangka Belitung, Sulawesi Utara, dan Lampung, yang sedah kuliah di Bandung. Tim mahasiswa asal Malaysia juga ikut menjajal permainan yang beberapa diantaranya seperti egrang, kelom batok, dan gasing hampir mirip di negaranya. "Permainan ini menarik dan bikin senang, di Malaysia jarang ada acara seperti ini," kata Muhammad Arif, mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran asal Kota Baru, Kelantan.
Alimpaido mempertandingkan 9 permainan tradisional yang umum dikenal di Jawa Barat, yaitu egrang, kelom batok, rorodaan, engkle atau sondah, sorodot gaplok, perepet jengkol, gatrik, gasing, dan bedil jepret. Dalam perlombaan dengan berbagai rintangan itu, seluruh permainan yang alatnya terbuat dari kayu, bambu, batok kelapa, dan batu tersebut dilakukan secara estafet. Seorang anggota tim boleh memainkan dua sampai tiga permainan.
Egrang yang terbuat dari sepasang bambu setinggi kira-kira 2,5 meter, dimainkan dengan cara diinjak pada bagian alas kakinya lalu dipakai berjalan atau berlari. Begitu pula kelom batok yang terbuat dari belahan tempurung kelapa. Agar tak jatuh, pemain harus memegang seutas tali yang mengikat batok.
Adapun rorodaan yang berbentuk seperti mobil-mobilan kecil sederhana dari kayu, dimainkan dengan cara dinaiki lalu didorong oleh orang dibelakang pemain. Wakil Gubernur Jawa Barat Dede Yusuf sempat mencoba permainan ini saat pembukaan acara.
Engkle atau sondah yang biasa dimainkan anak-anak perempuan, mengharuskan pemain melompati petak-petak seperti bentuk pesawat. Sedangkan sorodot gaplok adalah permainan membawa batu dengan telapak kaki bagian atas lalu dibenturkan ke batu lain yang berdiri sejauh dua meter lebih agar jatuh.
Alimpaido yang merupakan peseletan dari olimpiade, kata Kepala Dinas Budaya dan Pariwisata Jawa Barat Herdiwan, digelar sejak tahun lalu untuk melestarikan budaya lokal agar tak semakin tergeser permainan modern. Lomba tersebut rencananya akan dikembangkan dengan lebih banyak mengundang peserta dari berbagai daerah. “Diupayakan bisa naik ke tataran nasional,” ujarnya saat penutupan acara, Minggu (8/8).
Sejumlah peserta lomba kepada Tempo mengakui, hanya segelintir permainan tradisional yang sesekali mereka mainkan di kampung. Sebagian karena teman-temannya lebih suka menonton televisi atau menyewa game play station. “Yang masih ada kelereng, sondah, bebedilan, dan layangan,” kata Asep Nurjana, anak Desa Cijedil, Kecamatan Cugenang, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, di sela lomba.
Seluruh anggota tim juara Alimpaido asal Sukabumi bahkan pada awalnya tak mengerti sama sekali cara memainkan gasing, gatrik, dan bedil jepret. “Mereka cuma tahu dari buku nama-nama permainan tradisional tapi nggak tahu cara mainnya,” kata pelatih tim Agustian Faisal di Bandung, Minggu (8/8). Staf honorer Dinas Budaya, Pariwisata, dan Olahraga Kabupaten Sukabumi itu memerlukan waktu hampir lima bulan untuk melatih timnya.
Agar permainan anak-anak kampung itu tak punah, Beni Gunawan seorang guru SD Giri Jaya Cianjur, memakai jam olahraganya untuk mengenalkan sondah, egrang, bebentengan, gatrik, pangal atau gasing, bedil jepret, dampu, perepet jengkol, serta oray-orayan kepada pada murid. “Buat anak SD yang penting tubuhnya harus gerak,” ujarnya.
Selain itu, beberapa permainan tradisional juga memiliki arti atau nilai perilaku tertentu. Menurut Mohamad Zaini Alif, pendiri komunitas Hong yang mengenalkan permainan anak-anak tradisional ke masyarakat, sejumlah permainan tak hanya melatih ketangkasan dan kekuatan fisik. “Seperti egrang dan kelom batok, itu menyadarkan anak pentingnya keseimbangan hidup dan berpegang ke Yang Diatas,” ujarnya.
Dari hasil penelitianya, tercatat ada 125 permainan tradisional yang tersebar di seluruh Jawa Barat. Beberapa ada yang dikenal umum seperti yang dilombakan dalam Alimpaido, selebihnya khas daerah tertentu. “Memang banyak yang sudah nyaris punah, diantaranya karena kesulitan bahan dan tempat bermain,” katanya.
ANWAR SISWADI