Genjer-genjer Teater Payung Hitam  

Reporter

Editor

Senin, 19 Juli 2010 17:02 WIB

Aktor dari Teater Payung Hitam beraksi dalam teater bertajuk "Puisi Tubuh yang Runtuh" di Teater Salihara Jakarta, Jumat (25/6). FOTO ANTARA/Aldino Anatusa
TEMPO Interaktif, Bandung - Makam tak bernisan itu mengeluarkan bunyi derit berulang-ulang. Suaranya lama-lama terdengar seperti tangisan dan jerit tertahan. Suasana mencekam itu meruap sejak penonton disambut pemutaran lagu Genjer-genjer berulang-ulang saat memasuki Gedung Kesenian Dewi Asri Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI), Bandung, Jawa Barat, pada Kamis malam lalu.

Keluarnya sesosok tubuh jangkung dari balik layar menambah kengerian. Bayangkan, dengan tinggi sekitar 5 meter, ia muncul tanpa kepala. Memakai seragam militer, jarinya yang dibungkus kaos tangan merah menyeret ikatan tulang belulang lalu menghempaskannya ke segala penjuru. "Brak!" Suaranya begitu keras tiap kali beradu di lantai kayu. Tentara itu seperti tengah menebar ancaman.

Kali ini, sutradara, penulis naskah, sekaligus pimpinan Teater Payung Hitam, Rahman Sabur, kembali ke ciri khasnya. Berkisah tanpa kata-kata, drama sekitar satu jam tersebut hanya mengandalkan gerak tubuh lima aktornya. Selain tentara yang diperankan Yanuar IR, Latief Prayitna menjadi kakek, bapak oleh Rusli 'Keleeng', dan Ivan Mulder serta Dian Lugina sebagai anak.

Advertising
Advertising

Mereka mewakili sebuah keluarga yang dicap komunis turun temurun. Bagi Rahman, yang akrab disapa Babeh itu, keluarga juga diartikan sebagai persaudaraan yang mengikat. "Satu bangsa adalah keluarga," katanya.

Menurut Babeh, Genjer-genjer ingin menggugat ketidakadilan yang dirasakan jutaan warga Indonesia karena dicap komunis oleh Rezim Orde Baru. Babeh sangat berempati karena ikut menjadi korban ketika masih duduk di bangku sekolah dasar. Tuduhan komunis membuat ayahnya dipecat dari pabrik Philips di Kiaracondong, Bandung. Walau tak dibunuh, ayahnya dijebloskan ke penjara tanpa diadili.

Semula ia memakai judul Bingkai-bingkai untuk pementasan yang idenya ikut terpicu insiden Banyuwangi, Jawa Timur, belum lama ini. Di sana, sekelompok organisasi massa membubarkan pertemuan sejumlah anggota DPR dengan keluarga yang dituduh bekas orang komunis. Bingkai kayu besar selebar bentang tangan orang dewasa itu sendiri, kata Babeh, melambangkan aib pembantaian yang terus berpindah tangan sepanjang pementasan.

Bersama pemegangnya, bingkai jatuh dan terhempas berkali-kali. "Kalau itu aib, kenapa harus ditutupi. Itu kan jadi bangkai yang bau terus. Sekarang saatnya peluang untuk meluruskan sejarah," ujar Babeh. Pelurusan sejarah itu termasuk pengharaman terhadap lagu Genjer-genjer karena dicap sebagai tembang anggota partai komunis dan dikaitkan dengan kisah pembunuhan para jenderal di Lubang Buaya, Jakarta Timur.

Lagu berirama lambat itu, kata Babeh, hanyalah karya seni. Untuk menjelaskan ihwal lagu itu, Teater Payung Hitam meminta izin Paring Waluyo Utomo untuk memuat tulisannya sebagai pengantar pertunjukan. Dalam catatannya, Paring menulis bahwa karya musik tersebut diciptakan seorang seniman Banyuwangi bernama Muhammad Arief.

Liriknya berkisah tentang kemiskinan warga Banyuwangi sejak dijajah Jepang pada 1942. Lenyapnya kesuburan alam, memaksa warga harus mengolah daun genjer sebagai teman nasi. Tanaman di sungai itu sebelumnya telah dikenal masyarakat sebagai pengganggu.

Setelah Indonesia merdeka, Arief bergabung dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang memiliki hubungan dengan Partai Komunis Indonesia. Lagu ciptaannya yang sempat populer pada 1960-an itu ikut dinyanyikan penyanyi beken Bing Slamet dan Lilis Suryani masa itu dan direkam dalam piringan hitam. TVRI dan RRI pun pernah memutarnya sebagai lagu hits berulang kali.

Direktur Pusat Studi dan Pengembangan Kebudayaan Averroes Malang itu menduga, pelarangan lagu Genjer-genjer oleh Orde Baru karena sejak awal dibuat dan kemudian berkembang di kalangan partai komunis.

Yang jelas, menurut Babeh, pementasan lakon Genjer-genjer malam itu tidak ingin dibiaskan ke ranah politik. Dia hanya ingin menggugat masalah kemanusian dan ketidakadilan di kalangan warga yang dicap orang komunis di negeri ini.

ANWAR SISWADI

Berita terkait

Siswa-siswi Binus School Simprug Gelar Pertunjukan Teater

3 hari lalu

Siswa-siswi Binus School Simprug Gelar Pertunjukan Teater

Agenda rutin yang dilaksanakan setiap tahun ini melibatkan siswa-siswi SMA, mulai dari persiapan, pemain, penulisan cerita, kostum, hingga tata cahaya

Baca Selengkapnya

Sehari 4 Kali, Teater Bandoengmooi Gelar Pertunjukan Longser Kerajaan Tikus

16 Oktober 2023

Sehari 4 Kali, Teater Bandoengmooi Gelar Pertunjukan Longser Kerajaan Tikus

Pewarisan seni longser melalui pelatihan, residensi atau pemagangan, dan pertunjukan di ruang publik dilakukan setiap tahun.

Baca Selengkapnya

Minat Anak Muda Berkurang, Bandoengmooi Gelar Seni Longser Pahlawan Kesiangan

4 September 2023

Minat Anak Muda Berkurang, Bandoengmooi Gelar Seni Longser Pahlawan Kesiangan

Longser termasuk seni pertunjukan dalam daftar warisan budaya tak benda dari Jawa Barat.

Baca Selengkapnya

Marcella Zalianty Ungkap Perbedaan Menjadi Produser Teater dan Film

30 Agustus 2023

Marcella Zalianty Ungkap Perbedaan Menjadi Produser Teater dan Film

Marcella Zalianty saat ini sedang mempersiapkan pertunjukan teater kolosal

Baca Selengkapnya

Festival Teater Jakarta 2022, tak Sekadar Pertunjukan

4 Oktober 2022

Festival Teater Jakarta 2022, tak Sekadar Pertunjukan

Puncak apresiasi FTJ diniatkan sebagai etalase yang memperlihatkan capaian pembinaan teater Jakarta pada tahun berjalan.

Baca Selengkapnya

Indonesia Kita Kembali Hibur Masyarakat Jakarta sebagai Ibadah Kebudayaan

18 Juni 2022

Indonesia Kita Kembali Hibur Masyarakat Jakarta sebagai Ibadah Kebudayaan

Direktur Kreatif Indonesia Kita, Agus Noor berharap pertunjukan Indonesia Kita ke-36 ini bisa memulihkan situasi pertunjukan seni di Indonesia.

Baca Selengkapnya

Ngabuburit di Medan Sambil Nonton Teater Rumah Mata: Temukan Sahabat Sejatimu

15 April 2022

Ngabuburit di Medan Sambil Nonton Teater Rumah Mata: Temukan Sahabat Sejatimu

Teater Rumah Mata menggelar pertunjukan Shiraath untuk mengisi ngabuburit di sejumlah tempat di Kota Medan.

Baca Selengkapnya

Hari Teater Sedunia, Indonesia Punya Wayang Orang, Longser, Lenong dan Ketoprak

27 Maret 2021

Hari Teater Sedunia, Indonesia Punya Wayang Orang, Longser, Lenong dan Ketoprak

27 Maret menjadi Hari Teater Sedunia. Indonesia pun punya beragam pertunjukan teater rakyat seperti wayang orang, lenong, longser, hingga ketoprak.

Baca Selengkapnya

27 Maret Hari Teater Sedunia, 60 Tahun Sampaikan Pesan Perdamaian di Dunia

27 Maret 2021

27 Maret Hari Teater Sedunia, 60 Tahun Sampaikan Pesan Perdamaian di Dunia

Dulunya Teater merupakan hiburan paling populer di Yunani, pada 27 Maret, 60 tahun lalu Institut Teater Internasional menggagas Hari Teater Sedunia.

Baca Selengkapnya

Festival Teater Tubuh Dimeriahkan Belasan Penampil Secara Daring

18 Maret 2021

Festival Teater Tubuh Dimeriahkan Belasan Penampil Secara Daring

Festival Teater Tubuh berlangsung mulai Selasa sampai Sabtu, 16 - 20 Maret 2021. Festival ini merupakan silaturahmi tubuh kita dalam pandemi Covid-19.

Baca Selengkapnya