Tari Rakyat dalam Solo International Performing Art 2010
Sabtu, 17 Juli 2010 11:14 WIB
Tarian itu merupakan salah satu reportoar yang dipentaskan oleh kelompok tari rakyat Markt Allhau dalam perhelatan Solo International Performing Art (SIPA) 2010 di Pamedan Pura Mangkunegaran Surakarta, Jawa Tengah, Jumat malam kemarin. Kelompok tari asal Austria itu tampil di malam pertama dalam perhelatan yang akan digelar selama tiga malam tersebut.
Pentas seni bertaraf internasional itu diselenggarakan berdekatan dengan Solo International Contemporary Ethnic Music (SIEM) Festival 2010, yang digelar pekan lalu. Meski demikian, pementasan yang mengambil tempat di Keraton Mangkunegaran itu tetap saja menyedot perhatian ribuan penonton.
Kelompok tari rakyat Markt Allhau, salah satu penyaji dalam pembukaan SIPA 2010, membawakan delapan buah tarian, yang sangat mirip dengan gerakan dansa. Tarian itu dibawakan oleh sekelompok muda mudi secara berpasangan.
Gerak dansa yang dibawakan oleh kelompok tersebut sebetulnya cukup sederhana. Kebanyakan berupa gerakan melangkah dan berputar secara berpasangan. Hampir tidak terlihat adanya gerakan dansa yang sulit, kecuali gerakan terbang dalam tarian berjudul Keiner Mann. Tarian ini merupakan tarian tradisional di sana. “Tarian tradisi itu lahir 200 tahun yang lalu,” kata pimpinan Markt Allhau, Paul Erdely.
Wajar, jika penonton seakan diajak melihat kehidupan di masa lampau. Sebab, mereka menggunakan pakaian yang cukup klasik, baju warna putih dengan dilengkapi rompi hitam. Mereka melakukan dansa dengan iringan alat musik tunggal berupa Styrian Concertina, alat musik khas Provinsi Burgenland, Austria bagian timur. Sepintas, bentuk alat musik itu mirip dengan akordeon.
Paul menceritakan, tarian rakyat itu sebenarnya pernah hampir punah saat meletusnya Perang Dunia II. Saat itu hampir tidak ada seniman yang berpikir untuk berdansa di tengah kemelut perang. Setelah perang usai, masyarakat kembali membutuhkan kesenian untuk menghilangkan trauma mereka.
Tarian tradisi juga dibawakan oleh kelompok Wargo Budoyo asal Dusun Gejayan, Magelang, Jawa Tengah. Kelompok dari lereng gunung Merbabu itu membawakan karya Gladiator Gunung, yang merupakan perpaduan beberapa tarian rakyat khas warga lereng gunung.
Tiga tarian yang dipadukan adalah Geculan Bocah, Kipas Mega, dan Soreng. Ketiga tarian itu diiringi dengan musik truntung yang dipadukan dengan gamelan.
Tarian yang menggambarkan mengenai perjuangan hidup warga lereng gunung itu memiliki irama yang cepat. Mereka menonjolkan gerakan-gerakan kaki yang menjejak kuat ke tanah. “Gerakan masyarakat yang selalu naik dan turun gunung,” ujar Pimpinan Wargo Budoyo, Riyadi. Gerakan tersebut memiliki irama tersendiri, dengan dipasangnya kerincingan di kaki mereka. Menurut Riyadi, kesenian tersebut hingga kini masih hidup di tengah masyarakat lereng Merbabu.
Tarian rakyat memang menjadi sajian utama dalam SIPA 2010, baik tarian yang masih tradisional maupun yang kontemporer. “Porsinya mencapai 60 persen,” kata Ketua Panitia SIPA 2010, Irawati Kusumorasri. Sisanya, dibagi antara teater dan musik.
Dalam perhelatan yang akan digelar selama tiga malam berturut-turut itu, penyelenggara menghadirkan 21 delegasi. Tujuh di antaranya berasal dari luar negeri. Selain dari Austria, seniman asing juga datang dari Jepang, Malaysia, dan Meksiko.
Penataan artistik panggung SIPA 2010 cukup memukau. Panggung megah dibangun dengan dilatarbelakangi sebuah bangunan kuno, Kavallerie-Artillerie milik Mangkunegaran. Bangunan tua itu terlihat temaram dengan adanya tabir dari sehelai kain tipis berwarna putih. Lampu bermotif bunga warna warni ditembakkan ke permukaan kain, sehingga pertunjukan lebih menarik.
AHMAD RAFIQ