Itulah gambaran pameran tunggal perupa Bayu Yuliansyah dengan tema "Reportaste" yang digelar di Galeri Semarang, 10 hingga 24 Juli mendatang. Dengan menggunakan medium rokok bermerek global dan lokal, perupa kelahiran Jakarta 1976 ini menelorkan berbagai karyanya.
Karya Bayu lainnya berjudul Pseudo of Hero yang menampilkan sembilan buah panel yang masing-masing berupa lukisan sisa puntung rokok yang hanya tersisa berupa abu dan gabus filternya. Bagaikan rokok yang telah habis dihisap, puntung tersebut dihujam-hujamkan ke landasan sehingga filternya tampak mengkerut.
Dengan latar belakang hitam gelap, putung tersebut tampak masih mengeluarkan asapnya yang masih membumbung. Tidak berhenti disitu, puntung dengan mengepulkan asap justru digambarkan dengan sesosok tentara lengkap dengan bedil dan baretnya. Asap kepulannya bermetamorfosa menjadi imaji hantu tentara-tentara yang siap bertempur dengan berbagai bentuk yang sedang mencari musuhnya.
Permainan drawing rokok dengan asap juga tampak dalam karya Bayu yang diberi nama The Batle. Bayu membuat imaji dua batang rokok yang tergeletak yang saling berhadap-hadapan. Di sebelah kiri rokok bermerek lokal (Djarum Filter Super) sedangkan di sebelah kanan tergeletak rokok merek global (Marlboro). Keduanya masih menyala dan mengepulkan asap yang membentuk dua ikon pahlawan yang seolah ingin saling serang.
Dua ikon tersebut adalah imaji hantu Gatot Kaca di sisi kiri dan tokoh Super Man disisi Kiri. Antara rokok lokal dan global dicitrakan sebagai dua tanda yang sama tapi berbeda citra rasanya. Pada karya Invasion, ia mengasosiasikan batang rokok dengan kemasannya yang bermerek global menjadi pasukan tank beriringan seperti sedang menyerang.
Kurator pameran, Rifky Effendy menilai karya-karya Bayu yang menggunakan rokok-rokok bagaikan peluru-peluru untuk melumpuhkan musuh-musuhnya. "Antar perusahaan rokok saling berkonfrontasi," kata Rifky kepada Tempo, Senin (12/7).
Seperti diketahui, bahwa beberapa perusahan global banyak membeli atau mengakuisisi perusahaan lokal, termasuk perusahaan asing yang membeli perusahaan dalam negeri. Sehingga produk mereka mendapat sumber alam seperti tembakau dari para petani tembakau lokal. Selain itu, mereka juga leluasa memasarkan produk-produknya di wilayah lokal dengan merek asing.
Melalui imaji dan obyek rokok tersebut, Bayu seolah menyentuh sisi narasi tentang persoalan realitas sosial yang tengah berlangsung dalam masyarakat saat ini. Apa yang ia tampilkan di balik karya-karya ini menjadi cerminan bahwa masih adanya kesinambungan senirupa dengan konteks sosial realisme yang berkembang sejak dekade 1990-an.
Bayu Yuliansyah menyatakan rokok merupakan bentuk sederhana yang sangat dengan kehidupan masyarakat. "Saya berangkat dari pengalaman personal: kenyataannya saya perokok," ujar peraih Best Drawing Institute Seni Indonesia Yogyakarta pada 2002 itu.
Kondisi itulah yang akhirnya jadi stimulan bagi Bayu. "Kenapa wilayah yang terdekat tidak digarap". Apalagi, jika masuk ke wilayah rokok maka banyak persoalan yang mengitarinya. Rokok, kata Bayu, bisa mempunyai makna yang lebih luas dari makna rokok itu sendiri.
Bayu mengaku mulai bergelut dalam obyek rokok sejak 2003 lalu. Namun, masuk ke pameran tunggal baru dimulai sejak 2008.
Sejak awal Bayu sudah memperkirakan bermain dengan rokok pasti akan muncul pendapat yang pro dan kontra tentang rokok. Tapi, Bayu tidak mau terjebak pada pro dan kontra rokok. Menurutnya, posisi seorang seniman haruslah netral. "Tapi kalau masuk tidak netral ya why not," ujarnya.
Metamorfosis dengan rokok, kata dia, hanya persoalan bahasa ungkap. "Apalagi, saya sendiri juga habis tiga bungkus rokok tiap hari," ujar Bayu sambil tertawa. .
ROFIUDDIN