Anak-anak muda yang tampil seadanya dengan kaos oblong dan celana pendek ketat adalah para mahasiswa Jurusan Tari ISI. Mereka adalah para penari yang terlibat dalam pertunjukkan drama musikal Diana, yang akan dipentaskan di Jakarta Convention Center, Senayan, pada 7-8 Juli mendatang. Drama musik yang diangkat dari lagu-lagu Koes Plus, termasuk lagu-lagu mereka semasa masih bernama Koes Bersaudara itu, dibuat untuk memperingati 45 tahun harian Kompas.
“Ayo teman-teman kita latihan lagi,” teriak Garin Nugroho. Satu persatu penari tampak masuk ke belakang panggung teater, bergabung dengan Ariyo Wahab, Reuben Elishama Hadju, Rezanov GRIBS, Dana Galistan, Andi /Rif, Sheila Marcia, dan Nindy – yang kebagian sebagai pemeran utama.
Diiringi musik orkestra yang mengusung bagian reffrain lagu Diana, Ariyo, Reuben, Reza, dan Gana tampil di atas panggung. Mereka berperan sebagai anggota kelompok musik The Band. Ariyo Wahab, berperan sebagai Yoko, vokalis yang selalu menganggap dirinya pemimpin dan senantiasa memaksakan pendapatnya kepada teman segrupnya, Ian (Rezanov), Ebon (Dana), dan Jojo (Reuben). “Aku pemimpin di sini,” teriak Yoko setiap teman-temannya protes. “Pemimpin yang mau didengar tapi tak mau didengar,”celetuk Dana yang berperan sebagai Ebon, pemegang bas The Band.
Diana, yang naskahnya ditulis Bre Redana dan Agus Noor ini, bercerita tentang percintaan remaja di tengah konflik politik. Syahdan, The Band berencana mengadakan tur ke sebuah daerah konflik, Tilore. Kepergian mereka ke daerah yang tengah dilanda konflik politik dengan aspirasi untuk memerdekakan diri itu diikuti wartawan infotainment bernama Mariska (Sheila Marcia).
Sempat terbangun hubungan khusus antara Yoko dan Mariska, sebelum hubungan itu menemukan kompleksitas baru karena di daerah konflik tadi Yoko malah main mata dengan perempuan lain bernama Diana (Nindy). Dalam hubungan dengan Diana ini, Yoko harus menentukan pilihan-pilihan penting karena Diana ternyata adalah putri tunggal tokoh pejuang dari Tilore yang baru saja kembali dari pengasingan, bernama Da Silva, yang diperankan dengan apik oleh Andi /Rif
Adegan-adegan cerita itu tampil dalam paduan akting, koreografi tari nan indah yang merangkai 20 lagu ciptaan Tony Koeswoyo. Ke-20 itu merupakan hasil seleksi dari 600-an lagu dan diaransemen ulang untuk pentas ini oleh Yockie Suryoprayogo.
Bre Redana mengatakan, Koes Plus memiliki keistimewaan lantaran lagu-lagu mereka memiliki beragam tema, dari cinta remaja, cinta tanah air, hingga petuah-petuah hidup. “Musik mereka pun merambah dalam semua genre, seperti pop, rock n' roll, jazz, keroncong, dangdut,” katanya.
Selain Diana, Dara Manisku, Pelangi, Cintamu Tlah Berlalu, dan Kembali ke Jakarta yang cukup populer, beberapa lagu mungkin kurang akrab di telinga generasi muda saat ini lantaran mengikuti alur cerita. Sebut saja, Bunga dan Remaja, Hari Ini dan Nanti, Lontjeng Kecil, dan Da Silva. Tapi dengan kepiawaian Yockie Suryoprayogo sebagai penata musik, ditunjang musik orkestra dan paduan suara Paragita Universitas Indonesia, lagu-lagu lama itu tetap asyik didengar. “Saya harus mampu menerjemahkan karya-karya Tony Koeswoyo menjadi kekinian. Itu tantangan bagi saya,” ujar Yockie menjelaskaan.
Latihan pada Rabu pekan lalu itu merupakan latihan yang kesekian kalinya. Berhubung para penari berasal dari Solo, maka para pemain utama – yang rata-rata tinggal di Jakarta – terpaksa mengalah setiap bulan selama beberapa hari berlatih bersama di kota tersebut.“Sejak Maret kita sudah bolak-balik ke Solo,” kata Bre Redana.
Selama sepekan mereka berlatih di Teater Besar ISI. Mereka berlatih akting, menyanyi, dan menari. Sebuah bis disiapkan untuk menjemput mereka setiap pukul delapan pagi dan baru kembali ke Hotel Ibis, tempat mereka menginap, pada pukul lima sore. Waktu istirahat sekitar dua jam digunakan untuk makan siang dengan nasi kotak yang disediakan panitia. “Awalnya capek dan badan sakit-sakit, tapi lama kelamaan malah senang,” ujar Nindy.
Proses latihan berjalan dengan santai dan penuh canda. Selalu ada dialog antara penulis naskah, sutradara, dan pemain. Garin sebagai sutradara juga memberikan kebebasan untuk berimprovisasi sejauh tidak mengganggu. “Pada bagian ini kalian diberi kebebasan, boleh mengolok-olok, tapi tidak mengurangi rasa hormat,” teriak Garin dari bibir panggung ketika Ariyo dan kawan-kawan dianggap melenceng.
Dan pekan lalu itu menjadi latihan terakhir mereka di Solo. Selanjutnya mereka akan berlatih lebih intensif di Jakarta, dalam formasi lebih lengkap, termasuk orkestra dan paduan suara. “Masih 60 persen dari target yang ingin dicapai,” ujar Garin sesudah menyaksikan hasil latihan dalam sebuah pertunjukan utuh, layaknya gladi resik. Para pemain juga masih butuh polesan di sana-sini. “Tapi kami yakin target bisa dipenuhi,” kata Garin optimistis.
NUNUY NURHAYATI (SOLO)