Malam itu, Teater yang berdiri pada 1972 itu bangkit kembali. Tak ingin bangkit setengah hati, mereka pun langsung mementaskan dua naskah dalam dua kali pementasan berturut-turut. Hari pertama, mereka mementaskan naskah Obrok Owok-Owok, Ebrek Ewek-Ewek karya Danarto, dengan sutradara Puntung C.M. Pudjadi. Dan malam kedua, dipilih naskah karya Iwan Simatupang berjudul Petang di Taman.
Selama dua malam pementasan, gedung Taman Budaya yang berkapasitas 1.000 tempat duduk itu hampir penuh. Bahkan, pada hari pertama, penonton tak ada yang beranjak dari tempat duduk selama dua setengah jam pertunjukan.
Obrok Owok-Owok, Ebrek Ewek-Ewek dipilih sebagai materi pementasan perdana Teater Alam karena faktor historis. Naskah ini ditulis Danarto khusus untuk Teater Alam pada 1973. Pentas perdana naskah karya Danarto oleh Teater Alam berlangsung di Gedung Batik PTDI Yogyakarta.
Lewat naskah Obrok Owok-Owok, Ebrek Ewek-Ewek, Danarto mengangkat absurditas masyarakat Jawa melalui tiga peristiwa yang bersamaan, yakni antara seorang tukang sapu, juragan batik, dan profesor seni. Latar cerita ini adalah Pasar Beringharjo dan rumah sang profesor.
Naskah karya Danarto ini berkisah tentang Tommi (Bambang K.S.R.), mahasiswa seni yang menjalin cinta dengan Sumirah (Chandra Nilasari), juragan batik di Pasar Beringharjo. Pada saat yang sama, Tommi juga menjalin cinta dengan Kusningtyas (Lita Paramita), anak sang profesor (Liek Suyanto).
Kisah cinta Tommi ternyata lebih didasari otak ketimbang hati. Tommi memacari Sumirah agar desain batik ciptaannya laku terjual di pasar. Lalu ia juga memacari Kusningtyas, anak profesor pembimbingnya, dengan harapan cepat lulus kuliah. Namun kisah asmara dua hati itu kemudian dibongkar oleh Slenthem (Wahyana Giri) melalui ulah khasnya yang usil.
“Konon, Mas Danarto membayangkan tokoh Slenthem ini sebagai sosok Mas Azwar A.N. yang lucu, genit sekaligus pecicilan,” ujar Udik. Azwar A.N. tak lain adalah salah satu pendiri Teater Alam.
Menurut penuturan Danarto yang pernah disampaikan ke Udik, Obrok Owok-Owok, Ebrek Ewek-Ewek tidak ada artinya. “Itu hanya semacam celotehan, cermin keusilan rakyat bawah,” katanya menerangkan.
Puntung C.M. Pudjadi, yang bertindak sebagai sutradara, juga pernah terlibat dalam pementasan perdana Obrok Owok-Owok, Ebrek Ewek-Ewek pada 1973. Tapi dalam pementasan kali ini Puntung melakukan pendekatan berbeda. Tak seperti pada 1973 yang lebih bersifat Jawa-sentris, kali ini Puntung melakukan pendekatan yang cenderung karikatural dengan gaya sampakan seperti yang dilakukan Teater Gandrik.
Adapun naskah Petang di Taman karya Iwan Simatupang dipilih dengan alasan praktis. “Banyak anggota Teater Alam yang ingin naik pentas. Yang tidak mendapat tempat di Obrok Owok-Owok, Ebrek Ewek-Ewek akhirnya diakomodasi melalui Petang di Taman itu,” ujar Udik.
Pentas Petang di Taman berlangsung sangat singkat, sekitar 30 menit. “Karya Iwan Simatupang ini dikenal sebagai naskah wajib festival teater SLTA. Justru kami tertantang, bagaimana jika naskah karya Iwan itu dimainkan oleh orang-orang tua,” kata Udik. Dan dalam pementasan Petang di Taman ini, Azwar A.N. ikut naik panggung.
HERU C.N.