Tak hanya itu. Pertunjukkan wayang ini diiringi musik gamelan yang dimainkan secara kolaboratif antara pemain asal Yogyakarta dan Jepang. Bahasa yang digunakan pun bukan lagi bahasa Jawa melainkan dengan bahasa Indonesia.
Untuk menarik perhatian penonton, narasi masing-masing tokoh diucapkan oleh beberapa orang dan sang dalang. Penari juga ditampilkan dari balik geber sebagai kolaborasi antara seni wayang, tari, dan teater.
Pementasan wayang ukur di Pondok Seni Wayang Ukur, Jalan Taman Siswa, Yogyakarta, pada Sabtu malam kemarin itu untuk melestarikan wayang tersebut, yang sudah ditinggal oleh penemunya: Ki Sigit Sukasman yang wafat pada Oktober tahun lalu.
Lakon yang dipentaskan tiga dalang – Ki Catur “Benyek” Kuncoro, Ki Suharno, dan Ki Nanang Kancil – itu adalah Bisma Maha Wira. Lakon tersebut merupakan gambaran Ki Sukasman dalam membela dan mempertahankan wayang dalam kesenian.
Adapun aslinya tokoh itu berperang mempertahankan negara. Ya, dua-duanya bertujuan sama mulianya. Selain dengan musik gamelan, pementasan wayang itu juga diselingi dengan musik yang diolah secara digital oleh Anon Suneko, yang sejak kecil meamng sudah kerap menonton wayang ukur.
“Pentas kolaborasi ini untuk mengenang Ki Sukasman,” kata Ki Catur. “Yang lebih penting lagi, sepeninggal dia wayang ini harus dilestarikan.”
Menurut Ki Catur, pementasan wayang ukur versi kolaborasi tersebut memang lebih praktis, tapi lebih tampil kreatif. Selain itu, durasinya juga hanya sekitar 90 menit atau setengah dari waktu versi Ki Sukasman. Meski begitu, pentas tak mengurangi esensi dari nilai yang diajarkan sang maestro wayang ukur.
Ki Ledjar Soebroto, penemu wayang kancil dan sahabat dekat Ki Sukasman, menyatakan munculnya wayang ukur ditolak karena meresahkan para dalang. Sebab, bentuk wayang berbeda dengan yang sudah dipakemkan atau menyalahi pakemnya.
Namun Ki Sukasman justru terus bereksperimen membuat bentuk-bentuk wayang yang memang berbeda dengan aslinya meski namanya sama. Misalnya, tokoh Semar yang dibuat sangat ekspresif, yaitu simetris antara perut dan pantatnya besar sekali. Padahal, aslinya tik terlalu besar ukurannya. Hidung Petruk yang biasanya panjang, di tangan Ki Sukasman sangat panjang, sehingga ekspresinya sangat bagus.
“Sebelum membuat wayang, Ki Sukasman selalu mengukur secara simetris tokoh yang akan dibuat. Selalu mengukur itulah kemudian menjadi dasar penamaan wayang buatannya,” ujar Ki Ledjar menjelaskan.
MUH. SYAIFULLAH