Barangkali kegelisahan inilah yang menggelitik Isa Perkasa untuk mengaryakannya dalam sebuah lukisan. Kali ini perupa yang lahir di Majalengka ini mengadakan pameran tunggal bertajuk Seragam yang Diingatkan, yang digelar di Galeri Canna, Kelapa Gading, Jakarta Utara, hingga 10 April.
"Seragam dalam pameran ini bisa bermakna rezim atau bisa juga militerisme," kata kurator pameran Aminudin Siregar dalam katalog. Penguasa, lebih-lebih pada saat Orde Baru, begitu mementingkan penyeragaman sehingga dianggap sangat perlu memberlakukannya kepada aparatur negara yang lainnya. Saat itu, imajinasi masyarakat dimandulkan sekaligus diseragamkan.
Isa membaca, Indonesia tampaknya menjadi satu-satunya negara di dunia yang terobsesi dengan seragam. Mereka dengan mudah dapat ditemui mengenakan atribut-atribut yang mengatasnamakan keseragaman, seperti seragam pengemudi ojek, juru parkir, anak sekolah, dan safari anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Seolah adanya seragam memberikan simbol akan kekompakan, kedisiplinan, kerukunan, dan komunalisme.
Pameran Isa tersebut adalah kelanjutan dari pameran pertamanya, Ingatan yang Diseragamkan, di Bale Tonggoh, Bandung, Jawa Barat, tahun lalu. Menurut Aminudin, baik pameran Ingatan yang Diseragamkan maupun Seragam yang Diingatkan sama-sama menyoroti satu hal: ternyata orang-orang berseragam itu tak sinergis dengan apa yang telah dikonstruksi sejarah terkait dengan peran dan jasa mereka. “Buktinya, masih banyak kisah korupsi yang justru berasal dari kalangan mereka,” tulis Aminudin dalam katalog.
Isa, yang bermukim di Bandung, memamerkan 20 karya lukis dengan tema besar seragam penegak hukum: polisi dan kejaksaan. Adapun persoalan yang diangkatnya adalah melukiskan problem polah tingkah yang buruk atas oknum penegak hukum sebagai mafia hukum di Indonesia.
Isa menggunakan charcoal di atas kanvas dengan pilihan warna soft pastel dan hitam sebagai warna latarnya. Pada lukisan besarnya dengan judul sesuai dengan tema pameran, Seragam yang Diingatkan, konsep penataan obyek hampir mirip lukisan The Last Supper mahakarya pelukis Leonardo da Vinci yang menjadi misteri. Sebuah meja panjang dengan hidangan dan benda beraneka rupa. Di atas meja itu ada semangka, ikan mentah, minuman, lampu petromaks, dan setrika.
Semua pejabat hukum yang ditokohkan oleh Isa, seperti jaksa, polisi, dan tentara, ikut nimbrung dalam perhelatan itu. Ada yang kepalanya terikat oleh batu dan mulutnya tertutup masker atau ikan mentah seolah tak diperkenankan bersuara. Lainnya ada yang menutup mata dengan uang, bahkan tindakan suap-menyuap dengan amplop, juga ia gambarkan di sana.
Dari balik meja tiba-tiba keluar kepala kambing begitu saja. Kambing itu sedikit mendongak menerima tetesan botol kecap yang bergambar timbangan khas institusi kejaksaan. Binatang ini berkali-kali dihadirkan oleh Isa pada karyanya yang lain. Seekor kambing yang berhasil membawa warga sipil masuk ke sebuah ruangan dengan seragamnya yang bertulisan "tahanan" dalam karyanya yang berjudul Lembaga Pemasyarakatan.
Sama halnya seperti benda setrika kuno dengan ornamen jago di ujungnya, yang kerap muncul. Sepertinya seragam memang tak diperkenankan kusut di mana pun tokoh penegak hukum ini berada. Tengok karya Militer #2, yang sangat jelas menggambarkan profil oknum dari institusi ini. Kedua mata tertutup oleh uang kertas transparan. Mulutnya tengah berbicara dengan mikrofon berbentuk bohlam lampu pijar bergambar gugusan pulau Nusantara. Kedua tangannya dengan sangat mantap memegangi setrika kuno itu.
Yang juga menarik adalah Kejaksaan #3. Terdapat empat oknum yang melakukan tugasnya masing-masing. Satu orang sedang menuding, yang lainnya berceracau menjelaskan duduk persoalan yang telah direkayasa, satu lainnya lagi hanya mengekor seorang yang lain sembari duduk di atas kompor dengan bara api menyala. Mulutnya penuh dengan ikan mentah dan matanya tertutup lembar uang seratus ribuan. Lalu barang bukti kambing tetap diperlihatkan dan buah durian yang disembunyikan. Institusi ini seperti telah coreng-moreng akibat ulah mafia hukum tadi.
Gagasan seni Isa, dalam catatan kurasi Aminudin, bertolak dari pemikiran bahwa seni bukan sesuatu yang mengawang-awang sehingga kehilangan pijakan dari kenyataan sosial. Isa menjadi sangat sensitif terhadap diksi-diksi lokal. Karyanya memberikan resonansi terhadap apa yang bisa dilakukan seniman lain tanpa terjebak pada sentimen nasionalisme yang sempit ataupun ingar-bingar ekstravaganza budaya pop seperti sekarang ini.
Ismi Wahid